قال النووي رحمه الله في المجموع (2/386) :
أَجْمَعَتْ الأُمَّةُ عَلَى تَحْرِيمِ الصَّوْمِ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ , وَعَلَى أَنَّهُ لا يَصِحُّ صَوْمُهَا . . . وَأَجْمَعَتْ الأُمَّةُ أَيْضًا عَلَى وُجُوبِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ عَلَيْهَا , نَقَلَ الإِجْمَاعَ فِيهِ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَأَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ اهـ باختصار .
Al-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengatakandalam kitab al majmu` (2/386):
Umat dengan suara bulat sepakat bahwa puasa adalah haram untuk wanita haid dan wanita nifas, dan puasanya itu tidak sah. . . Umat juga sepakat bahwa mereka wajib qadha` puasa Ramadhan , Ijma` ini dikutip Tirmidzi, Ibn al-Mundhir, Ibn Jarir, dan teman-teman kami,
Komentarku ( Mahrus ali
Ijmak yang di sebutkan oleh Imam Nawawi mulai kapan,
التّرْمذِي، أبو عيسى (209 هـ - 279 هـ) / (824م - 892م)
ابن المنذر النيسابوري(241 هـ - 318 هـ)
محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الشهير بالإمام أبو جعفر الطبري،[3] (224 هـ - 310 هـ - 839 - 923م
Imam Tirmidzi itu hidup tahun 209 – 279. Ibn Mundzir hidup tahun 241 – 318 H dan Ibn Jarir hidup pada masa 224 – 310 . Jadi mereka tidak bertemu dengan sahabat juga tdak ketemu tabiin.
Jadi ijma` tersebut tidak punya landasan, tidak punya dalil yang sahih , apa landasannya ijma` itu . Perlu vertivikasi apakah benar itu ijma`, bagaimana kalau salah ? Hadisnya saja di masa pengikut tabiin masih gharib – masih di anggap nyeleneh , lalu bagaimana dikatakan para sahabat atau tabiin Ijma` .
Bila kita ikut menyatakan wanita haid tidak boleh puasa, kita ikut dalil mana ?Tidak ada dalil yang sahih dalam hal ini.
Bila kita ikut ijma` itu , ternyata mayoritas sahabat tidak ada yang berpendapat seperi itu . Kita lebih baik ikut ayat :
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. 184 Baqarah
Wanita haid bukan termasuk orang yg sakit, juga bukan musafir . Mk hrs berpuasa.
Bila kita ikut ijma` itu, maka akan dengan cara apa kita ini membenarkannya. Kita bisa menyalahkan ijma` itu karena ijma` hanya dari perkataan Imam Tirmidzi yang hidup pada tahun 209 – 279 H > Dialah permulaan orang yang menyatakan : “Saya tidak menjumpai hilap dari kalangan ahlil ilmi tentang masalah wanita haid tidak wajib puasa”.
Ibn Qayyim berkata:
وقد وجد من ادعى الإجماع بدون بينة ، ولذلك قال الإمام أحمد رحمه الله : "من ادعى الإجماع فهو كاذب ، وما يدريه لعلهم اختلفوا" ، وأرشد الإمام أحمد من لم يتيقن من وجود الإجماع أن يقول : "لا نعلم الناس اختلفوا ، أو لم يبلغني ذلك".
Ditemukan orang yang mengklaim konsensus/ ijma` tanpa bukti, dan karena itu Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : "Siapa yang mengklaim kebulatan suara/ ijma` adalah pembohong, dan Barang kali dia tidak tahu mereka berbeda pendapat," Imam Ahmad membimbing kepada orang yang tidak yakin dengan konsensus / ijma`untuk mengatakan: "Kami tidak tahu orang berbeda pendapat . Dan saya tidak tahu kabar seperti itu.
قال ابن القيم رحمه الله بعد أن نقل هذا الكلام عن الإمام أحمد : " ونصوص رسول الله صلى الله عليه وسلم أجل عند الإمام أحمد وسائر أئمة الحديث ، من أن يُقَدموا عليها توهُمَ إجماعٍ مضمونُه عدمُ العلمِ بالمخالف
" إعلام الموقعين" (1/24) .
Ibn al-Qayyim (semoga Allaah merahmati beliau) mengatakan setelah mengutip perkataan Imam Ahmad: "Teks-teks dari Rasul Allah ( shallahu alaihi wasallam) lebih agung bagi Imam Ahmad dan semua imam hadits dari pada mereka menduga Ijma yang landasannya karena tidak mengerti kepada ulama yang beda pendapat.
Komentarku ( Mahrus ali )
Jadi tidak boleh ceroboh dalam mengatakan ijma`, tapi lihat dan seaching dulu apakah ada ulama yang beda pendapat. Bila ada, maka tidak boleh dikatakan ijma`.
Mengapa ulama sebelum imam Tirmidzi tidak berani menyatakan ijma` atau ulama tidak beda pendapat dalam masalah haram puasa bagi wanita haid dan nifas
Pada hal nifas dan haid itu beda , mana dalilnya wanita nifas dilarang puasa , saya tidak menjumpainya . Dan saya juga pernah mengajukan pertanyaan di saah satu grup, mana dalil wanita nifas tidak boleh berpuasa, juga tidak ada yang bisa menjawab. Tidak boleh memutuskan hukum tanpa dalil.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Al isra` 36
Berikut ini adalah Pernyataan Imam Abu Hanifah tentang larangan bertaqlid buta:
إِذَا صَحَّ الْحَديثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” [Ibnu Abidin dalam al-Haasiyah (1/63) dan di dalam risalahnya Rasmun al-Mufti (1/4) dari Majmuu’atur Rasaa`il Ibnu Abidin dan Syaikh Shalah Al-Falaani dalam Iqaazhul Himam (hlm. 62)]
لاَ يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَولِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ * فإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُولُ القَولَ اليّومَ ونَرْجِعُ عَنْهُ غَدًا
“Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.” [Ibnu Abdil Barr dalam al-Intiqaa` dalam Fadhaa`il ats-Tsalatsah al-A`immah al-Fuqahaa` (hlm. 145) Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’laamu al-Muwaq’iin (hlm. 2/309) dan Ibnu Abidin dalam catatan-kakinya terhadap kitab al-Bahrur Raa`iq (6/293)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik