Cairo (voa-islam.com) Sejarah selalu berulang;
begitulah kata-kata yang sering kita dengar. Dalam sejarah sering
terjadi pengulangan modus peristiwa, meskipun konteks dan detailnya
tentu berbeda.
Karena pengulangan sejarah ini, sebagian orang meyakini keberhasilan
mencapai suatu tujuan di masa lalu bisa diulang kembali di masa kini;
meskipun situasinya sudah banyak berubah.
Ketika tahun 1991 terjadi pemberangusan kemenangan partai FIS di
Aljazair oleh militer, lalu diikuti penangkapan dan pembunuhan para
pendukungnya, modus serupa ingin digelar kembali ketika rezim militer
Mesir berusaha memberangus kekuasaan Presiden Mursi dan pengaruh
Ikhwanul Muslimin. Tetapi hasilnya, sampai sejauh ini “skenario FIS” itu
mengalami kegagalan besar.
Beberapa fakta bisa disebutkan sebagai bukti kegagalan rezim militer
Mesir di bawah Jendral As Sisi dalam memaksakan skenario penindasan:
Satu, demo-demo anti kudeta 3 Juli 2013 dan pemogokan publik terus
berlangsung di berbagai tempat, terutama di Kairo. Militer Mesir tidak
berdaya untuk menghentikan aksi-aksi ini. Berbagai cara kekerasan sudah
mereka lakukan, tetapi gerakan massa terus membesar dari waktu ke
waktu.
Dua, simpati publik Mesir, termasuk kalangan yang semula anti
Ikhwanul Muslimin, semakin besar kepada gerakan anti kudeta. Di mata
mereka, rezim As Sisi telah menunjukkan kekejaman luar biasa yang belum
pernah dilakukan rezim-rezim sebelumnya.
Peristiwa pembantaian di halaman Masjid Rabi’ah Al Adawiyah pada 14
Agustus 2013, adalah tragedi besar yang disaksikan oleh masyarakat Mesir
secara luas. Mereka jadi tahu kekejaman rezim As Sisi terhadap rakyat.
Padahal semula sebagian rakyat Mesir memandang pemerintahan Ikhwanul
Muslimin bersikap otoriter, ternyata rezim As Sisi lebih biadab dari
yang mereka sangka.
Tiga, strategi Ikhwanul Muslimin yang melakukan perlawanan secara
damai, mendapat simpati besar dari masyarakat Mesir, juga masyarakat
dunia. Ikon Rabi’a menjalar kemana-mana, menjadi ikon dunia yang dikenal oleh berbagai bangsa, terutama di negeri-negeri Muslim.
Empat, kesalahan terbesar Jendral As Sisi dan para pendukungnya ialah
ketika melakukan kudeta militer, lalu melakukan pembantaian,
pembunuhan, penyiksaan, penangkapan, serta penghancuran hak-hak sipil
warga Mesir (khususnya kepada para pendukung IM).
Cara-cara As Sisi ini tidak memiliki legitimasi apapun di mata
manusia sedunia. Secara politik, jelas keliru; secara prinsip demokrasi,
sangat menyalahi; secara humanitas, melanggar HAM berat; secara akal
sehat, sulit dimengerti.
Bagaimana bisa sebuah rezim membantai ribuan rakyatnya sendiri?
Apakah As Sisi itu maniak haus darah sejenis Polpot, Stalin, Lenin, atau
‘sang penjagal’ Ariel Sharon?
Lima, segala macam rencana (road map) politik yang telah
disusun rezim As Sisi dan didukung para sponsornya (terutama Amerika,
Saudi, dan Emirat) ternyata tidak jalan.
Alih-alih As Sisi akan memperbaiki keadaan, justru tindakan-tindakan
politiknya memerosokkan Mesir dalam kekacauan nasional yang sangat
memilukan. Mesir belum pernah mengalami kondisi instabilitas semacam
ini, hatta di era Anwar Sadat, kecuali setelah As Sisi berkuasa.
Apa yang diinginkan para konspirator untuk membungkam Mursi, menumpas
partai FJP, dan memberangus Ikhwanul Muslimin; seperti yang mereka
bayangkan pernah mendapat keberhasilan di Aljazair saat menumpas FIS;
ternyata menelan kegagalan besar.
Meskipun sudah ratusan atau ribuan pendukung IM ditangkap, ditahan,
hingga dibunuh, tetapi skenario kekerasan rezim As Sisi justru
menghadapi “serangan balik” dari publik Mesir. Padahal untuk semua itu
Amerika sudah membantu dana sebesar 1,3 miliar dolar dan Saudi 12 miliar
dolar. Semua itu tidak berfaidah untuk memposisikan gerakan IM seperti
FIS di Mesir di masa itu.
Pertanyaannya, mengapa skenario mem-FIS-kan IM di Mesir ini menelan kegagalan? Alasannya sebagai berikut:
(1). Bagaimanapun FIS adalah gerakan Islam yang belum lama dibentuk,
ketika muncul keterbukaan politik di Aljazair. Gerakan itu belum
menemukan soliditas dan keajegan sistemnya. Berbeda dengan Ikhwanul
Muslimin yang sudah berdiri sejak tahun 1928 M, berpengalaman panjang,
dan sudah sering mengalami tekanan-tekanan di Mesir.
Sangat menyedihkan ketika pengalaman panjang IM ini dipandang sebelah
mata oleh rezim As Sisi. Posisi IM di Mesir tak ubahnya seperti posisi
Muhammadiyah di Indonesia, sudah berakar kuat dalam kebudayaan bangsa.
Lebih mudah menumbangkan sebuah rezim politik daripada memberangus
gerakan akar rumput seperti ini.
(2). Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak terprovokasi untuk melakukan
tindakan kekerasan balasan ke rezim militer. Mereka tetap menempuh cara
damai dan non kekerasan. Memang terjadi tindakan-tindakan kekerasan
secara sporadis, tetapi itu bukan strategi umum gerakan IM saat ini.
Berbeda dengan FIS. Ketika kemenangan mereka diberangus, para
pendukungnya dibantai, FIS segera membentuk milisi GIA, untuk melakukan
perang terbuka. Karena minim pengalaman dan logistik, perlawanan ini
mudah dipatahkan. Mungkin akan berbeda ceritanya jika jaringan Al
Qa’idah yang membina urusan di Aljazair, rezim militer bisa mendapat
lawan sepadan.
(3). Meskipun menghadapi serangan kekerasan luar biasa, jajaran
pimpinan Ikhwanul Muslimin tetap kompak. Hal ini sangat hebat dan patut
dicontoh. Ketika Muhammad Badie ditahan dan dijebloskan ke penjara, IM
segera memilih pemimpin baru.
Suksesi berjalan lancar, di tengah situasi konflik sedang berkecamuk.
Sementara para pemimpin FIS ketika itu mengalami perpecahan internal
yang kuat; kalangan Salafi di tubuh FIS cenderung mengikuti Ustadz Ali
bin Hajj, sedangkan kalangan yang cenderung terpengaruh IM mengikuti
Prof. Abbas Madani. Perpecahan internal elit FIS ini membuat barisan
terkoyak sampai ke bawah.
(4). Masyarakat Mesir mulai memahami bahwa missi utama rezim As Sisi
dan segala kekejamannya adalah untuk melindungi Zionis Israel dari
kepemimpinan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang terkenal anti Israel.
Hal ini tentu membuat rakyat Mesir semakin marah dan antipati kepada
rezim As Sisi, sebab di mata mereka perlawanan kepada Zionis Israel
adalah amanat sejarah yang harus dipikul rakyat Mesir dan bangsa Arab
pada umumnya. Perjanjian Camp David antara Anwar Sadat dan Menachem
Begin selalu menjadi aib sejarah bagi bangsa Mesir yang semula dikenal
patriotik.
(5). Amerika Serikat sebagai pendukung utama kudeta, ternyata
mengalami masalah-masalah internal di negerinya yang akut. Operasional
pemerintahan federal mengalami shut down, tidak ada anggaran untuk operasional, sehingga kantor-kantor pemerintahan ditutup sementara. Bagaimana sebuah negara disebut super power kalau anggaran operasional saja tidak tersedia?
Kejadian lain yang tidak pernah dibayangkan oleh rezim militer Mesir
dan para pendukungnya, adalah kecaman dunia internasional atas fakta
penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh Amerika dalam sepuluh tahun
terakhir.
Fakta yang awalnya dibongkar oleh Edward Snowden ini jelas merusak
posisi politik Amerika di percaturan dunia. Ironinya negara-negara yang
disadap Amerika justru sekutu-sekutu terdekatnya sendiri seperti Jerman,
Spanyol, Saudi, Indonesia, dan lain-lain.
Dapat dikatakan posisi pemerintah Obama sekarang benar-benar bonyok.
Apa yang bisa dilakukan Obama hanyalah membuat sebuah podium, lalu
menghibur publik dengan seni pidato. Dalam pidatonya itu, mula-mula
Obama akan memandang jauh dengan mata menerawang; seolah dia laki-laki
paling ganteng sedunia.
Lalu dia mengeluarkan secarik kertas dari jas hitamnya, kemudian
menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Sesekali Obama mengelus dahi,
membetulkan dasinya, atau mengelap wajah dengan tissue. Tangan Obama
aktif bergerak-gerak, seperti ibu-ibu sedang melakukan fitness di
pinggir jalan. Hanya dagelan pidato yang bisa Obama lakukan, saat ini.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Allah dalam Kitab-Nya:
“Dan ingatlah ketika mereka (orang kafir) melakukan tipu daya
terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuh, atau mengusirmu
(dari kampung halamanmu); mereka melakukan tipu-daya dan Allah juga
melakukan tipu-daya (untuk menghadapi mereka); dan Allah adalah
sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Surat Al Anfaal: 30).
Ke depan rezim As Sisi dan kawan-kawan akan dilucuti rakyat Mesir
sendiri. Mereka adalah penghalang terbesar bagi rakyat Mesir untuk
memperoleh kebebasan dari penindasan dan kesewenang-wenangan sistem
militeristik yang telah bercokol selama puluhan tahun.
Dan secara umum, ‘skenario FIS’ di Mesir mengalami kegagalan total.
Mereka terlalu bodoh untuk mengulang sukses sejarah masa lalu. Semoga
Allah menghukum kaum zhalimin dengan seburuk-buruk perlakuan. Amien.
Wallahu a’lam bisshawaab.
Azzam Husnayain.