Saif Al Battar Sabtu, 30
Ramadhan 1433 H / 18 Agustus 2012 13:38
(Arrahmah.com) – Jika ingin
negeri ini selamat, mari kembalikan Indonesia pada dasar Islam! Jangan
lagi mau dikhianati…
Umat Islam di negeri ini tak
akan pernah lupa, betapa politik kaum sekular begitu khianat dengan menelikung
kesepakatan luhur (gentlement agreement), Piagam Jakarta. Sehari pasca
kemerdekaan, lobi-lobi politik kelompok sekular dan Kristen berhasil
menghapuskan sebuah tonggak sejarah bagi penegakan syariat Islam di negeri ini.
Tgk Daud Beureueh
Ya, hanya sehari pasca
proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri,
tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa
ini pada 22 Juni 1945, yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, dihapuskan oleh tipu licik kelompok yang tidak menginginkan
syariat Islam tegak di negeri ini.
Inilah tragedi besar dalam
sejarah perjuangan umat Islam Indonesia,
yang pada masa revolusi fisik berjuang dan bercita-cita, jika nanti negeri ini
merdeka, mereka menginginkan kemerdekaan ini dilandaskan pada sistem Islam. Tak
heran jika, Haji Agus Salim, tokoh nasional bangsa ini, dengan lantang dan
tegas mengatakan, cita-cita kemerdekaan bangsa ini adalah kemerdekaan dalam
bingkai dan semangat keislaman.
Apakah ini sebuah cita-cita
yang berlebihan? Silakan bentangkan fakta-fakta sejarah dengan kejujuran, siapa
sesungguhnya yang lebih banyak berjuang dan menggerakkan perlawanan dalam
mengusir penjajah? Siapa yang merekatkan tali persatuan dalam menggelorakan
semangat perjuangan mengusir bangsa asing yang datang merampas kekayaan negeri
ini?
Inilah bentangan fakta-fakta
sejarah yang bisa menjawab pertanyaan tersebut…
Perlawanan umat Islam
misalnya bisa dilihat dalam perjuangan yang dilakukan KH Zainal Musthafa di
Tasikmalaya, Jawa Barat, Kiai Subki di Wonosobo, Imam Bonjol di Sumetera Barat (1821-1837),
Pangeran Diponegoro (1825-1830), Perang Sabil di Aceh (1837-1904), serta
perlawanan para sultan dari kerajaan-kerajaan Islam yang mengerahkan pasukannya
untuk mengusir penjajah. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad, dengan
motor penggerak para pejuang Islam.
Perang Sabil yang berlangsung
di Aceh, dan digerakkan oleh Teungku Cik Di Tiro, Tengku Umar dan Cut Nyak Dien
dari tahun 1873-1904 misalnya, adalah jihad melawan apa yang disebut oleh
mereka sebagai kape-kape (kafir-kafir) Belanda. Perlawanan sengit yang dalam
catatan sejarah terekam dalam hikayat perang Sabil itu mampu menjadikan Aceh
sebagai daerah yang sulit ditaklukkan oleh penjajah.
Saat kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
sudah bertekuk lutut pada bangsa kolonial, yaitu Inggris, Portugis, dan Belanda,
daerah berjuluk Serambi Mekkah itu justru sulit ditaklukkan hingga akhir abad
ke-18. Ruhul jihad rakyat Aceh yang tangguh menggema hingga pelosok Nusantara.
Pada masa selanjutnya, para
ulama Aceh, di antaranya Tengku Muhammad Daud Beureueh, terus menggelorakan
semangat jihad melawan penjajah. Daud Beureueh menyebut perlawanannya sebagai
“perang Aceh dalam bentuk baru”, dengan terlebih dahulu menyiapkan kader-kader
pejuang yang sebelumnya digambleng dalam pusat-pusat pendidikan Islam (dayah).
Dari dayah inilah lahir
pejuang-pejuang tangguh yang berperan aktif mengusir penjajah, baik menjelang
pendudukan militer Jepang, maupun pada masa revolusi tahun 1945.
Tengku Daud Beureueh yang
juga tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), mengorganisir gerakan bawah
tanah untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda di seluruh pelosok Tanah
Rencong. Maka, pada tahun 1942, pecah pemberontakan di beberapa wilayah Aceh
yang dimotori para ulama, hingga seluruh tentara Belanda hengkang dari tanah
Aceh.
Selain itu, semangat untuk
mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17
Agustus 1945 di Jakarta, juga terus diserukan oleh para ulama di Serambi Makkah.
Buya HAMKA saat masih muda
Pada 15 Oktober 1945, seruan
untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang berusaha merebut Pangkalan
Brandan di Sumatera Utara, bergema di Aceh. Para ulama yang terdiri dari Tengku
Haji Hassan Krueng Kalee, Tengku Haji Muhammad Daud Beureueh, Tengku Haji
Jakfar Shiddiq Lamjabat, dan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, mengeluarkan
seruan jihad kepada rakyat Aceh untuk berjuang mengangkat senjata melawan
penjajah.
Berikut isi seruan para ulama
tersebut:
“…Indonesia
tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia
serta telah berdiri Republik Indonesia
di bawah pimpinan Soekarno. Belanda adalah satu kerajaan kecil serta miskin. Satu
negeri yang kecilnya, lebih kecil dari negeri Aceh yang hancur lebur. Mereka
telah bertindak melakukan pengkhianatan kepada tanah air kita Indonesia yang
sudah merdeka untuk dijajah kembali. Kalau maksud jahanam itu berhasil, maka
pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat, merampas segala harta benda
negara dan harta rakyat, dan segala kekayaan yang kita kumpulkan selama ini
akan musnah. Mereka akan memperbudak rakyat Indonesia
dan menjalankan usaha untuk menghapus Islam kita yang suci serta menindas dan
menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Menurut keyakinan kami, perang
ini adalah perjuangan suci yang disebut ‘Perang Sabil’…”
H Agus Salim
Selain di Aceh, kontribusi
dan pengorbanan umat Islam juga menjadi spirit kemerdekaan di beberapa daerah
lain di tanah air. Dalam catatan sejarawan Muslim, Ahmad Mansyur Suryanegara, proklamasi
Indonesia yang terjadi pada 17 Agustus 1945, dan bertepatan dengan 19 Ramadhan 1364
H, juga tak lepas dari dorongan para ulama kepada Bung Karno untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Mansyur, sebelum
memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno menemui para ulama, di antaranya para
ulama di Cianjur Selatan, KH Abdul Mukti dari Muhammadiyah dan KH Hasyim
Asy’ari dari Nahdlatul Ulama.
Tapi apa mau dikata, air susu
dibalas air tuba. Piagam Jakarta yang berisi kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi kaum Muslimin di negeri ini, dihapuskan sehari pasca proklamasi. Padahal,
menurut keterangan Jenderal Abdul Haris Nasution, Piagam Jakarta lahir di
antaranya berdasarkan dorongan dari ratusan ulama yang menginginkan umat Islam
hidup diatur dengan syariat Islam.
Karena itu, Jenderal Besar AH
Nasution pernah menyatakan, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat
sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur..”
Inilah pengkhianatan yang
sungguh memilukan bagi umat Islam. Allahyarham Dr Mohammad Natsir menyatakan, tanggal
17 Agustus 1945 kita bertahmid, mengucap syukur karena negeri ini telah diberi
kemerdekaan atas rahmat Allah SWT. Namun, sehari setelah itu, kata Natsir, umat
Islam beristighfar, karena perjuangannya selama ini dikhianati.
Bahkan, dengan kalimat yang
lebih tegas, Allahyarham Buya Hamka pernah menyatakan, “Mari kita berpahit-pahit,
kaum Muslimin
belum pernah merasa puas
dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam
kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi
kenyataan.”
Jadi, mari kita kembalikan Indonesia pada
dasar Islam, pada semangat dan perjuangan menegakkan Islam!
Sumber: Artawijaya – Salam-Onine.com
*Sebagian besar sumber
artikel ini berasal dari buku “Dilema Mayoritas” yang ditulis oleh Artawijaya
(saif al battar/arrahmah.com)