Masjid sunan Ampel Surabaya
Tahlilan
Pandangan Sunan Ampel terhadap Tahlillan
Mengapa masjid ampel setiap malam jum’at imam
masjidnya setelah dzikir-dzikir, kemudian dilanjutkan baca tahlillan, apakah
mereka tidak membaca sejarah sang wali tersebut.!?
Hal ini juga sering kita jumpai dimasjid-masjid
ahli bid’ah didalamnya mengadakan tahlilan setiap malam Jum`at dan setelah Isya` diselenggarakan dibaan.
Mari kita renungkan ucapan beliau kepada Sunan
Kalijogo yang mengadakan tahlilan, katanya: ”Jangan diteruskan perbuatan
semacam itu karena termasuk bid`ah.” Sunan Kalijogo menjawab, ”Biarlah nanti generasi
setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan
menghilangkan budaya tahlilan itu.” Kisah ini disebutkan dalam sebuah buku
tentang Islam di Indonesia yang tersimpan di sebuah museum di negeri Belanda.[1]
Dalam pandangan Sunan Kalijogo masyarakat saat itu belum memahami tentang Islam
dengan baik, masih kuat dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Karena itu kemudian
diadakan kumpulan sebagaimana kebiasaan masyarakat sebelumnya yaitu kumpulan
peringatan hari kematian, hanya saja isinya berupa dzikir tahlil dan doa-doa
dari ajaran Islam. Walaupun demikian Sunan Ampel tetap tidak setuju, karena
perbuatan semacam ini termasuk bid`ah[2].
Jadi
tahlilan itu diadakan untuk mengikuti budaya kumpulan masyarakat Hindu setelah
ada kematian, hanya saja diisi dengan tahlilan. Kemudian dikenal secara luas
dengan sebutan tahlilan, asal acaranya menjadi tenggelam padahal inilah inti
dari acara tersebut yakni melakukan peringatan atas kematian seseorang. Hal ini
bisa dikatakan termasuk menyerupai dengan non-Muslim. Kita tidak diperkenankan
melakukan hal semacam itu. Dalam suatu hadits dijelaskan,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
”Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk dalam
golongan mereka.”[3]
Dan kita juga
tidak boleh bersimpati terhadap mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
wur
(#þqãZx.ös? n<Î) tûïÏ%©!$#
(#qßJn=sß ãNä3¡¡yJtGsù â$¨Y9$# $tBur Nà6s9 `ÏiB Èbrß «!$#
ô`ÏB
uä!$uÏ9÷rr& ¢OèO
w crç|ÇZè? ÇÊÊÌÈ
”Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhålim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun
selain dari Allåh, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”[4]
Sama saja seperti halnya dengan
mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad r, hari ulang
tahun kelahiran yang diisi dengan tahlilan, dibaan, shålawat, kasidah shålawat
bermusik, haul mbah buyut sesepuh desa, kyai pengasuh pondok pesantren, habib,
dan lain-lain. Seluruhnya sekadar menjiplak kultur orang-orang kafir yang dilarang.
Råsulullåh r bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ
قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ
ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti perilaku bangsa sebelummu sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta hingga mereka masuk ke lubang biawak pun kalian
akan tetap mengikutinya. Kami berkata, ‘Wahai
Råsulullåh! Apakah mereka kaum
Yahudi dan Nasrani?’ Rasul menjawab, ‘Siapa lagi ‘.[5]
Tuntunan Islam tentang keluarga yang
mengalami kematian adalah menghibur dan membesarkan hati agar tabah, sabar, dan
tawakal kepada Sang Pencipta kehidupan dan kematian, Allåh U. Orang yang sedang
mengalami duka karena kematian kerabatnya memerlukan kalimat ta`ziyah dari
kawan yang muslim, sebagaimana dikisahkan dalam hadits sebagai berikut. Ibnu
Quråh y berkata,
كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ يَجْلِسُ إِلَيْهِ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ وَفِيهِمْ
رَجُلٌ لَهُ ابْنٌ صَغِيرٌ يَأْتِيهِ مِنْ خَلْفِ ظَهْرِهِ فَيُقْعِدُهُ بَيْنَ
يَدَيْهِ فَهَلَكَ فَامْتَنَعَ الرَّجُلُ أَنْ يَحْضُرَ الْحَلْقَةَ لِذِكْرِ
ابْنِهِ فَحَزِنَ عَلَيْهِ فَفَقَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ مَالِي لاَ أَرَى فُلاَنًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
بُنَيُّهُ الَّذِي رَأَيْتَهُ هَلَكَ فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّىالله عليه
وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ بُنَيِّهِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ هَلَكَ فَعَزَّاهُ
عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ يَا فُلاَنُ أَيُّمَا كَانَ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَنْ تَمَتَّعَ
بِهِ عُمُرَكَ أَوْ لاَ تَأْتِي غَدًا إِلَى بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلاَّ
وَجَدْتَهُ قَدْ سَبَقَكَ إِلَيْهِ يَفْتَحُهُ لَكَ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ
بَلْ يَسْبِقُنِي إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَيَفْتَحُهَا لِي لَهُوَ أَحَبُّ
إِلَيَّ قَالَ فَذَاكَ لَكَ *
“Biasa
bila Nabi r sedang duduk maka sebagian
sahabatnya turut mendampingi beliau. Di antara mereka ada seorang pria yang mempunyai
seorang anak lelaki yang masih kecil yang sering ikut datang bersama bapaknya,
biasanya kemudian didudukan di pangkuannya. Suatu saat anak itu kemudian
meninggal dunia. Akibat kematian anaknya, pria tersebut kemudian merasa enggan
untuk menghadiri majelis Råsulullåh r, karena merasa sedih selalu terbayang-bayang
mendiang anaknya. Nabi Muhammad r
kemudian merasa tidak melihat pria tersebut, lalu bertanya, ’Mengapa aku tidak melihat si
fulan?’
Mereka menjawab, ‘Wahai Råsulullåh! Anaknya yang pernah Anda lihat itu telah meninggal
dunia.’
Lantas Råsulullåh
r menemui pria tersebut untuk kemudian menanyakan tentang
anak itu. Pria tersebut memberitahukan bahwa anaknya telah meninggal dunia.
Råsulullåh r pun kemudian menyampaikan kalimat yang menghiburnya.
Beliau bersabda, ’Wahai fulan! Manakah yang kamu sukai, kamu bisa melihat anak
semasa hidupmu atau kelak kamu mendatangi salah satu pintu surga sementara
anakmu telah menunggu untuk membukakan pintu bagimu.’
Dia berkata,
’Wahai Nabi! Aku lebih suka jika dia mendahuluiku ke surga lalu membukakan
pintunya untukku.’
Råsulullåh r bersabda, ’Itulah
hakmu’.”[6]
Sementara
tahlilan, apalagi yang dilangsungkan selama tujuh hari berturut-turut, justru
akan memberatkan dan merepotkan keluarga mayat. Bagaimana tidak karena mereka
dituntut untuk menyediakan berbagai hidangan bagi orang yang melakukan
tahlilan. Perkumpulan semacam ini pun merupakan niyahah (meratap) yang akan
mengingatkan kepada kesedihan. Ini jelas tidak manusiawi, karena bukan
menghibur namun menambah kesedihan dan kerepotan.[7]
Muktamar NU
ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabi`uts
Tsani 1345 Hijriyah/21 Oktober 1926 Masehi mencantumkan pendapat Ibnu Hajar
al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan setelah kematian adalah bid`ah yang hina namun tidak sampai diharamkan.
Mantan
rektor al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut
menyatakannya haram.[8] Syaikh Ahmad al-Syirbashi menyatakan bahwa selamatan adalah bid`ah.[9]
Mungkin
orang akan bertanya, Tahlil kok dilarang, berarti melarang perintah Råsulullåh r ! Bukankah beliau mendorong umatnya untuk mengucapkan
tahlil?!” Sekilas kalimat ini benar, tetapi bukankah tahlilan tidak sama dengan
tahlil? Tahlil adalah mengucapkan kalimat tauhid, la ilaha illallåh. Sementara
tahlilan adalah melakukan tahlil khusus untuk acara tertentu, dengan cara
tertentu secara berjama’ah kemudian pahalanya dihadiahkan untuk orang tertentu.
Sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam Muhammad al-Syaukani sbb:
”Kebiasaan di sebagian negara
mengenai pertemuan di masjid, rumah atau di kubur untuk membaca al Quran yang
pahalanya dihadiakan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan
lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan
kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara zhahir) dari syariat.
Kegiataan melaksanakan majelis itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang
haram(muharam fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang
dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al Quran atau lainnya. Dan tidaklah
tercela menghadiahkan pahala membaca al Quran atau lainnya kepada orang yang
telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada
hadits sahih seperti: ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.”
Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin itu dilakukan bersam-sama di
dekat mayat atau di atas kuburnya, dan membaca al Quran secara keseluruhan atau
sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.” ( Ar Rasail al Salafiyah,
46).[10] Mari kita kaji bersama,
tentang pernyataan dari al-Imam Muhammad al-Syaukani tersebut.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Suyuthi, salah satu ulama dari madzhab Syafi’i,
menyatakan:
لمِاَ تَقَرَّرَ فِى مَذْهَبِنَا –
الشَّافِعِيَّةِ – مِنْ أَنَّ ثَوَابَ اْلقِرَاءَةِ لِلْقَارِىءِ لاَ
لِلْمَقْرُوْءِ لَهُ
“...Karena menurut ketetapan dalam
madzhab kami, Syafi’iyah, bahwa pahala dari membaca [al-Quran] adalah untuk
pembacanya bukan untuk yang diberi bacaan.”[11]
Pendapat Imam Syafi’i t, sebagaimana
diwakili oleh Imam Nawawi, disebutkannya dalam kitabnya, Syarah Muslim:
“Menurut
pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i tentang bacaan al-Quran
(yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) ialah bahwa amalan tersebut tidak akan
sampai kepada mayat. Sebagai dalilnya, Imam Syafi’i dan para pengikutnya
mengambil dari firman Allåh I “Dan seseorang itu tidak akan
memperoleh melainkan pahala dari daya usahanya sendiri.”
Dalam sebuah sabda Nabi r, “Apabila
manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amal usahanya kecuali
tiga daripada amalnya, sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak (lelaki
atau perempuan) shaleh yang mendoakannya.”[12]
Imam Nawawi di dalam kitab Majmu’, Syarah Muhadzdzab mengatakan,
“Membaca al-Quran dan mengirimkan
pahalanya untuk orang mati dan
menggantikan sembahyang untuk seseorang yang mati atau sesamanya adalah tidak
sampai kepada mayat yang dikirimkan menurut jumhur ulama dan Imam Syafi’i.
Keterangan ini telah diulang beberapa kali oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya,
Syarah Muslim.”[13]
Al-Haitami, salah satu tokoh fikih
Madzhab Syafi`i, di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubrå al-Fiqhiyyah, berkata, “Tidak
boleh membaca suatu bacaan untuk mayat berdasarkan keterangan yang umum dari
ulama mutaqaddimin (terdahulu) yaitu pahala bacaan-bacaan yang dikirimkan
kepada si mati adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut
milik orang yang membaca tersebut. Pahala orang yang beramal tidak bisa dipindahkan
kepada orang lain berdasarkan sebuah firman AllåhI yang berbunyi,
“Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri.”[14]
Imam Muzani,
di dalam Hamisy al-Umm, juga berkata:
“Råsulullåh
r telah memberitahukan sebagaimana yang telah diberitakan
dari Allåh I bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri
seperti halnya suatu amal yang telah dikerjakan adalah hanya untuk dirinya
sendiri bukan untuk orang lain, dan ini tidak dapat dikirimkan kepada orang
lain.”[15]
Imam
al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan,
“Dan yang
masyhur di dalam madzhab Syafi’i adalah: bahwa bacaan al-Quran (yang pahalanya
dikirimkan kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat.”[16]
Di dalam
tafsir Jalalain disebutkan seperti berikut, “Maka seseorang tidak akan
memperoleh pahala sedikit pun dari hasil usaha orang lain.”[17]
Ibnu Katsir
di dalam tafsirnya terhadap surah al-Najm ayat 39 mengatakan,
”Sebagaimana
dosa seseorang tidak bisa menimpa orang lain, begitu juga seseorang tidak mendapat pahala melainkan dari
amalannya sendiri. Dari ayat ini pula Imam Syafi’i y dan para ulama yang mengikutinya telah mengambil
kesimpulan bahwa pahala bacaan al-Quran yang dikirimkan kepada mayat adalah
tidak akan sampai kepadanya karena amalan tersebut bukan dari hasil usahanya
sendiri. Oleh sebab itu, Råsulullåh r tidak pernah menganjurkan umatnya transfer/pengiriman
pahala baik secara nas hadits atau dengan isyarat.”
Di dalam kitab
fikih I’anatut Thålibin terdapat keterangan:
”Berkumpul
di keluarga mayat dengan banyak hidangan
termasuk bid’ah munkaråt (bid’ah yang diingkari agama). Bagi orang
yang memberantasnya akan diberi pahala.”[19]
Imam Syafi’i
sendiri tidak menyukai berkumpul di
rumah kematian sebagaimana yang telah dikemukakan di dalam kitab
al-Umm, “Aku tidak suka berkumpul (di rumah keluarga mayat) meskipun di
situ tiada tangisan sebab akan menimbulkan kesedihan.”[20]
Ada hadits riwayat Jarir y yang berkata, “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga kematian yang menghidangkan makanan untuk jamuan adalah sama dengan meratapi mayat, yaitu
haram.”[21]
Pengarang
kitab I’anatut Thålibin mengambil keterangan sahih di dalam kitab Bazzaziyah, :
“Termasuk perkara yang dibenci: Menyelenggarakan jamuan makanan pada hari pertama (kematian), hari
ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke tanah kubur pada
waktu musiman.”[22]
Di dalam
kitab fikih Mughnil Muhtaj terdapat keterangan, ”Keluarga kematian yang menyediakan
makanan dan orang–orang sama berkumpul di rumahnya untuk menjamu, merupakan
bid’ah yang tidak disunatkan, dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah
meriwayatkan hadits yang shåhih daripada Jarir bin Abdullåh, berkata, “Kami
menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut
menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti
niyahah (meratapi mayat), yaitu haram.”[23]
Sementara
itu dalam kitab fikih Hasyiyatul Qalyubi ada keterangan sebagai berikut:
”Syaikh al-Ramli berkata, ’Di antara bid’ah yang munkaråt (yang tidak
dibenarkan agama), yang dibenci apabila diamalkan sebagaimana yang telah
diterangkan di dalam kitab Al-Raudhah, yaitu
“kifarah” dan hidangan makanan yang disediakan oleh tuan rumah kematian untuk
jamuan orang yang berkumpul di rumahnya, sama saja dilangsungkan sebelum
atau sesudah kematian, serta penyembelihan di tanah kubur.”
Pengarang
kitab I’anatut Thålibin mengambil keterangan di dalam kitab Al-Jamal
Syarh al-Minhaj yang berbunyi seperti berikut, “Di antara bid’ah munkaråt
yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu
dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul
dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan
semua itu adalah haram.”[25]
Selanjutnya,
pengarang kitab tersebut juga mengambil lagi keterangan dari kitab Tuhfatul
Muhtaj Syarh al-Minhaj yang berbunyi, “Sesuatu yang sangat
dibiasakan oleh seseorang dengan menghidangkan makanan untuk mengundang orang
ramai ke rumah keluarga kematian merupakan bid’ah yang dibenci sebab ada
hadits yang telah diriwayatkan oleh Jarir y yang berkata, ’Kami (para sahabat nabi r) menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga
kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk majelis itu
adalah sama dengan hukum niyahah, yaitu haram.”[26]
Pengarang
kitab tersebut mengambil lagi fatwa dari mufti madzhab Syafi’i, Ahmad Zaini bin
Dahlan, ”Dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa mencegah umat dari perkara
bid’ah munkaråt ini sama seperti halnya menghidupkan sunnah nabi r. Mematikan bid’ah seolah-olah membuka pintu
kebaikan seluas-luasnya dan menutup pintu keburukan serapat-rapatnya karena
orang lebih suka memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa
kepada sesuatu yang haram.”[27]
Di dalam
kitab Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah ada keterangan:
”Dan di antara bid’ah yang dibenci agama ialah sesuatu yang dibuat oleh
individu, yaitu menyembelih hewan-hewan di tanah kubur tempat mayat
ditanam dan menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi
mereka yang datang berta’ziah.”[28]
Riwayat lain
menerangkan: Bahwa Jarir y datang kepada Umar y, lalu Umar y bertanya. ”Adakah mayit kalian diratapi?’ Dia menjawab,
’Tidak!’ Lalu ditanya juga,
’Adakah orang-orang
berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan?’ Dia menjawab, ’Ya!’ Maka Umar y berkata, ’Yang demikian adalah ratapan.”
Diterangkan
dalam kitab I’anatut Thålibin jilid 2 halaman 145-146 , bahwa fatwa-fatwa dari mufti-mufti Makkah dari empat
madzhab menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan
itu adalah
mungkar. Di antaranya:
Fatwa dari Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’i berkata,
”Ya,
perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang yang berkumpul di rumah orang yang
kena musibah kematian dan menyediakan makanan adalah perbuatan bid’ah munkaråh
dan penguasa yang mencegahnya akan mendapatkan pahala”.
Fatwa dari
Mufti Madzhab Hanafi,
”Ya,
penguasa akan diberi pahala karena melarang manusia dari perbuatan bid’ah.”
Setelah kita kajih ternyata pernyataan al-Imam
Muhammad al-Syaukani( Ar Rasail al Salafiyah, 46).[30] sangat bertentangan
sekali dengan pandangan Imam Syafi’i sendiri tentang masalah menghadiahkan
bacaan kepada orang yang sudah meninggal. Karena di kalangan masyarakat kita banyak yang
mengaku sebagai pengikut Imam Syafi’i dalam masalah fikih. Sementara salah satu
tradisi mereka adalah menghadiahkan bacaan al-Quran kepada leluhur yang sudah
meninggal.
Namun
sekali lagi pandangan Imam Syafi’i tentang masalah menghadiahkan bacaan kepada
orang yang sudah meninggal, sangat berbeda dengan al-Imam muhammd al-Syaukani
dan kyai-kyai NU,
Kemudian
dalam Ar Rasail al Salafiyahnya, al-Imam Muhammad al-Syaukani juga mengatakan
,”Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits sahih seperti:
”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada bedanya
apakah pembacaan surat Yasin itu dilakukan bersam-sama di dekat mayat atau di
atas kuburnya, dan membaca al Quran secara keseluruhan atau sebagian, baik
dilakukan di masjid atau di rumah.” (Ar Rasail al Salafiyah, 46)[31]
Mari kita
kaji kembali hadits yang disampaikan oleh al-Imam Muhammad al-Syaukani
tersebut.
Sebagian
orang yang membaca surat Yasin untuk mayat ada yang mendasarkan pada sebuah hadits Sebagai
berikut:
اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ
Bacakan
Surat Yasin kepada orang–orang matimu.[32]
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Nasai yang disahihkan oleh Ibnu Hibban, tapi
dilemahkan oleh Ibnul Qåtthån karena kacau redaksinya, keadaan perawi Abu Utsman
yang tak dikenal, begitu juga ayahnya. Ibnul Madini mendukungnya. Daråquthni
berkata, ”Hadits tersebut lemah, lafalnya tidak dikenal, tiada hadits sahih
dalam masalah ini.”[33]
Pendapat
yang terkenal dari Imam Syafi’i dan ulama` madzhab Maliki adalah bahwa pahala
membaca al-Quran tidak akan sampai kepada mayat. Periksa
tentang hal ini dalam Al-Syarhul Kabir.[34]
Abu Dawud
meriwayatkannya dengan sanad sebagai berikut:
3121 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلاَءِ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَكِّيٍّ الْمَرْوَزِيُّ الْمَعْنَى قَالاَ
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا يس عَلَى
مَوْتَاكُمْ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ الْعَلاَءِ *
Abu Dawud berkata, “Bercerita kepada
kami Muhammad bin al-Ala` bahwa Muhammad bin Makki al-Maruzi al-Ma`na berkata, ‘Bercerita
kepada kami Ibnul Mubaråk dari Sulaiman al-Taimi dari Abu Utsman, bukan al-Nahdi,
dari ayahnya dari Ma`qil bin Yasar berkata, ‘Råsulullåh r bersabda, ‘Bacalah
surat Yasin untuk mayatmu.“
Inilah
hadits dengan redaksi dari Ibnul Ala`.[35]
Komentar
penulis: Nama ayah Abu Utsman tidak dikenal.
Menurut
ensiklopedi perawi-perawi hadits, Abu Utsman dari ayahnya tidak pernah
meriwayatkan hadits dari Ma`qil bin Yasar.[36]
Bahkan Ibnul
Qåtthån di muka menyatakan bahwa Abu Utsman tidak dikenal. Ibnu Majah juga
meriwayatkan hadits tersebut pada hadits nomor 1448, tapi nisbahnya juga perawi
Abu Utsman dari ayahnya seperti riwayat Abu Dawud.
Imam al-Hakim berkata,
أَوْقَفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ
وَغَيْرُهُ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِي
“Hadits tersebut dinyatakan mauquf oleh Yahya bin Said dan lainnya
dari Sulaiman Al-Taimi.”
Komentar
penulis: Jadi menurut beliau bukan hadits dari Nabi r tapi perkataan Sulaiman Al-Taimi.[37]
Bacalah Yasin untuk mayat–mayatmu!”[38]
Hadits tersebut derajatnya sangat lemah
karena terdapat perawi yang bernama Amir, ketika di akhir usia hafalannya menjadi
kabur. Ada juga seorang lelaki dan ayahnya yang tidak disebutkan namanya
sehingga sulit diketahui identitasnya. Lihat redaksinya dengan riwayat Abu
Dawud dan Ibnu Majah sangat berbeda.
Dalam riwayat Imam Ahmad banyak tambahan, padahal sama-sama bersumber dari
Ma`qil bin Yasar. Imam Muslim, Bukhåri, dan Tirmidzi sama sekali tidak
meriwayatkannya. Jadi mereka tidak mengenal kebiasann membacakan surat Yasin
untuk orang mati.
وَذَكَرَ الآجُرِي مِنْ حَدِيْثِ
أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا مِنْ مَيِّتٍ
يُقْرَأُ عَلَيْهِ سُوْرَةُ يَسٍ إِلّاَ هَوَّنَ الله عَلَيْهِ
Imam al-Ajuri menyebutkan hadits dari
Ummud Darda` dari Nabi r,
bersabda, “Setiap mayat yang dibacakan
surat Yasin maka siksaannya akan diringankan.”[39]
Abu Syuja`
Syairawih bin Syahardar bin Syairawih al-Dailami al-Hamdzani meriwayatkan hadits tersebut bukan dari Ummud
Darda` (ibu darda`) tapi dari Abud Darda` sebagai berikut:
6099 أََبوُ الدَّرْدَاءِ مَا مِنْ مَيّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأُ عِنْدَهُ
سُوْرَةُ يسٍ إلاَ هَوَّنَ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ
“Setiap mayat yang meninggal dunia, lalu
dibacakan surat Yasin maka Allåh ‘azza wajal meringankan siksaan kepadanya.”[40]
Komentar penulis: Al-Qurthubi dan Abu
Syuja` menyampaikan hadits tersebut tanpa sanad juga tanpa ada komentar dari imam
ahli hadits yang mentakhrijnya, apakah menganggapnya sebagai sahih atau
melemahkannya. Ia juga dicantumkan di dalam Syarah Ibnu Majah tanpa sanad.[41]
Imam Ahmad
berkata, ”Pengarang kitab Al-Firdaus menyebutkan sanad hadits tersebut sebagai berikut:
مِنْ طَرِيْقِ مَرْوَانَ بْنِ
سَالِمٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرُو عَنْ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ
وَأَبِي ذَرٍّ قَالاَ قَالَ رَسُوْلُ الله
صلى الله عليه
Dari jalur Marwan bin Salim dari Shåfwan
bin Amar dari Syuråih dari Abud Darda` dan Abu Dzar berkata, Råsulullåh r bersabda,....
Komentar
penulis: Sanad tersebut lemah sekali karena terdapat perawi bernama Syuråih yang
terpercaya tapi sering memursalkan hadits
سُئِلَ مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ:
هَلْ سَمِعَ شُرَيْحٌ بْنُ عُبَيْدٍ مِنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ ؟ فَقَالَ: لاَ
. قِيْلَ لَهُ: فَسَمِعَ مِنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِى صلى الله عليه وسلم
؟ قاَلَ: ماَ أَظُنُّ ذَلِكَ ، وَ ذَلِكَ أَنَّهُ لاَ يَقُوْلُ فِى شَىْءٍ مِنْ ذَلِكَ
سَمِعْتُ ، وَ هُوَ ثِقَةٌ .
Muhammad bin
Auf ditanya, “Apakah Syuråih pernah mendengar hadits dari Abud Darda`?’
Beliau
menjawab, ‘Tidak pernah.’
Dikatakan
kepadanya, ’Dia mendengar hadits dari salah satu sahabat Nabi r?’
Muhammad bin
Auf menjawab, ’Kukira tidak, sebab beliau sendiri tidak pernah bilang aku
mendengar .... Orang ini memang terpercaya.”[42]
Ditemukan
juga perawi lemah yang lain yaitu Marwan bin Salim, identitasnya sebagai
berikut:
مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ ابْنِ حَجَرَ:
مَتْرُوْكٌ وَ رَمَاهُ السَّاجِى وَ غَيْرُهُ بِالْوَضْعِ
Martabatnya menurut Ibnu Hajar, “Dia
adalah perawi yang ditinggalkan, al-Saji dan lainnya menyatakan dia pemalsu
hadits.”
مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ الذَّهَبـِي:
قَالَ الْبخَارِى وَ مُسْلِمٌ: مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ ، وَ قَالَ النَّسَائِى:
مَتْرُوْكٌ
Martabatnya menurut al-Dzahabi adalah
bahwa Imam Bukhåri dan Muslim berkata, “Marwan bin Salim haditsnya mungkar.” Imam Nasai menyatakan, ”Dia ditinggalkan haditsnya.”[43]
Jadi hadits
tersebut boleh dikatakan palsu. Karena itu seluruh penyusun kutubut tis`ah tidak mencantumkannya dalam kitab mereka,
bahkan kebanyakan pengarang kitab hadits tidak mencantumkannya. Dan yang
menyampaikan sanadnya sepengetahuan kami hanya penyusun kitab Al-Firdaus.
Ada hadits
lagi sebagai berikut:
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ
أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمْعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا يَسٍ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ
مِنْهَا
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburan
dua orang tuanya di setiap Jumat, lalu membaca Yasin di situ, maka dosanya akan
diampuni sejumlah tiap hurufnya.”
Komentar penulis: Pengarang Syarah Ibnu
Majah menyampaikan hadits tersebut tanpa menuturkan sanadnya dan tanpa komentar
sahih atau lemah, lalu bagaimanakah bila lemah lantas diajarkan kepada orang.
Dalam kitab Faidhul Qådir dijelaskan sebagai
berikut:
وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ وَكُتِبَ
بَرًّا بِوَالِدَيْهِ
“Ada
tambahan dalam suatu riwayat: Dia ditulis sebagai orang yang berbakti kepada
kedua orang tuanya.”[45]
Abdurråuf
al-Munawi berkata,
قَالَ ابْنُ عَدِي هَذَا
الْحَدِيْثُ بِهَذاَ الْإِسْنَادِ بَاطِلٌ وَعَمْرٌو مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ اه
وَمِنْ ثَمَّ اِتَّجَهَ حُكْمُ
ابْنِ الْجَوْزِي عَلَيْهِ بِالْوَضْعِ بِالْإِجْمَاعِ
Ibnu Adi
berkata, ”Hadits tersebut dengan sanad seperti itu adalah keliru dan terdapat perawi
bernama Amar yang tertuduh pemalsu hadits. Karena itu, Ibnul Jauzi menyatakan
hadits tersebut palsu dengan ijma` ulama.”[46]
Amar bin Ziyad juga pernah memalsu hadits
sebagai berikut:
Dari Umar y dari Nabi r bersabda,
أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنْ أَمْسِكَ عَنْ خَدِيْجَةَ
وَكُنْتُ لَهَا عَاشِقًا فَأَتضى جِبْرِيْلُ بِرُطَبٍ فَقَالَ كُلْهُ وَوَاقِعْ
خَدِيْجَةَ لَيْلَةَ جُمْعَةَ لَيْلَهَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ
فَفَعَلْتُ فَحَمَلَتْ بَفَاطِمَةَ
“Diwahyukan kepadaku agar tidak
berkumpul dengan Khådijah, padahal aku sangat rindu kepadanya. Jibril datang dengan
membawa kurma ruthåb seraya berkata, “Makanlah dan bersetubuhlah dengan Khådijah
pada malam Jumat tanggal 24 Råmadhån!’ Aku pun menjalankannya. Akhirnya
Khådijah mengandung Fathimah.”[47]
Kisah tersebut tercantum dalam kitab Fawaid
Abu Bakar al-Syafi’i dan Manakib Fathimah.
Ibnu Katsir berkata,
قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مِنْ
خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عَلَى أَمْرٍ عَسِيْرٍ إِلاَّ
يَسَّرَهُ الله تَعَالَى وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عَلىَ الْمَيِّتِ لَتُنَزِّلُ
الرَّحْمَةَ وَالْبَرَكَةَ وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ خُرُوْجُ الرُّوْحِ والله تعالى
أعلم
“Sebagian ulama berkata, ‘Termasuk
keistimewaan surat ini, bila dibacakan kepada urusan yang sulit akan dimudahkan
oleh Allåh I, seolah bila
dibacakan kepada mayat bisa menurunkan rahmat dan berkah lalu ruhnya menjadi
mudah keluar.”[48]
Komentar penulis: Mengapa Ibnu Katsir
menyampaikan pernyataan seperti itu, di mana
para Nabi, sahabat dan imam madzhab empat tidak mengatakannya. Dan saya sendiri
tidak mengetahui dalilnya. Setahu saya,
bila ingin kesulitan dimudahkan oleh AllåhI berdoalah sebagaimana
tersebut dalam ayat berikut ini:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ
إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ اْلأَرْضِ أَئِلَهٌ
مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa)
orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allåh ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati (Nya).”[49]
Dalam ayat
lain diterangkan:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ
ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ
عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab:
“Allåh”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru
selain Allåh, jika Allåh hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allåh
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?.
Katakanlah: “Cukuplah Allåh bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri.”[50]
Kalau ingin
ruh menjadi mudah keluar hendaklah dengan berdoa sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى
سَكَرَاتِ الْمَوْتِ
”Ya
Allåh berilah pertolongan kepadaku dalam sekarat maut.”[51]
Ada hadits sebagai berikut:
.مَنْ قَرَأَ يس غُفِرَ
لَهُ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَهُوَ جاَئِعٌ شَبِعَ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَهُوَ ضاَلٌّ
هُدِيَ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَلَهُ ضاَلَّةٌ وَجَدَهاَ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ
طَعاَمٍ خَاَفَ قِلَّتَهُ كَفَاَهُ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ مَيِّتٍ هُوِّنَ
عَلَيْهِ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ امْرَأَةٍ عَسُرَ عَلَيْهاَ وَلَدُهاَ يَسُرَ عَلَيْهاَ وَمَنْ قَرَأَهاَ
فَكَأَنَّماَ قَرَأَ القُرْآنَ إِحْدَى عَشَرَ مَرَّةً وَ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا
وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس
”Barangsiapa membaca surat Yasin akan diampuni dosanya.
Barangsiapa membacanya dalam keadaan
lapar akan dikenyangkan. Barangsiapa membacanya
dalam keadaan sesat akan diberi hidayah. Barangsiapa membacanya untuk mencari barang yang hilang
akan di temukan. Barangsiapa membacanya
di sisi makanan yang dikhawatirkan
kurang akan dicukupinya. Barangsiapa membacanya
di sisi mayat akan diperingan
siksaannya. Barangsiapa membacanya di muka perempuan yang sulit melahirkan
akan melahirkan dengan mudah.
Barangsiapa membacanya seolah-olah telah membaca al-Quran sebelas kali. Setiap sesuatu
memiliki hati sedang hati al-Quran
adalah Yasin.”[52]
Abu Bakar - Ahmad bin al-Husain berkata,
هَذَا نُقِلَ إِلَيْنَا ِبهَذَا
الْإِسْنَادِ مِنْ قَوْلِ أَبِي قِلاَبَةَ وَكَانَ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِيْنَ
Kami menerima kutipan dengan sanad tersebut
dari perkataan Abu Qilabah dan beliau termasuk tokoh tabi’in.[53] Kalau begitu
berarti bukan hadits. Ada juga disebutkan terdapat hadits sebagai berikut:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ
ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ ماَ تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوهاَ
عِنْدَ مَوْتاَكُمْ
“Barangsiapa
membaca surat Yasin untuk mencari ridha Allåh, maka dosanya yang lalu diampun oleh Allåh .
Bacakanlah kepada orang – orang matimu!”
Hadits ini dicatat oleh Imam al-Baihaqi di
dalam kitab ”Syu’abul Iman“ dari Ma`qil bin Yasar. Imam Suyuthi memberikan
tanda sahih. Periksa dalam Jami’us Shåghir 178/2. Di sini Imam Suyuthi
kurang teliti tentang sanad hadits
yaitu nama ayah Utsman yang seluruh ulama ahli hadits menyatakan mubham atau
tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam
al-Darimi nomor 3417 dengan sanad lemah karena terdapat perawi al-Hasan yang
sering memursalkan hadits. Secara kenyataan Råsulullåh dan sahabatnya tidak
pernah membaca surat yasin apalagi di atas kuburan. Oleh karena itu, Imam Syaukani
berkata bahwa Imam al-Daråquthni berkata, ’Hadits tersebut adalah hadits
lemah, redaksinya juga tidak dikenal
dan tepatlah apa yang dikatakan oleh
Ibnul Qåtthån bahwa redaksi
hadits tersebut kacau.” Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam Sunan Abi Dawud nomor 3131, Ibnu Majah dalam Sunan Ibni Majah nomor 1448,
Nasai dalam Sunan al-Nasai, dan Ahmad dalam Musnad Ahmad nomor 19789 dan 19803. Namun
seluruh jalur periwayatannya telah kami telusuri dan seluruhnya dari ayah Utsman yang masih belum diketahui identitasnya. Daråquthni berkata, ”Dalam masalah ini tidak terdapat hadits yang sahih.”[54]
Syaikh
Ibrahim berkata, “Syaikh Abdulwahhab al-Warråq, Abu Hafsh berkata,
وَقَالَ الاَكْثَرُ لاَيَصِلُ
إلَىالميِت ثوابُ القِراءةِوانّ ذَلكَ لِفَاعِله
‘Mayoritas
ulama` menyatakan bahwa pahala membaca
al-Quran tidak akan sampai kepada
mayat, tetapi hanya untuk orang yang membacanya.”[55]
jangan
ikut ahli bid`ah , kamu akan sesat , ngaku benar .
Al-Nawawi, Syarah
Muslim:juz 1 hal:9.
Al-Syafi’i, Al-Umm,
juz 1, hal. 248.
I’anatut
Thålibin, juz 2, hal. 146.
I’anatut
Thålibin, juz 2, hal. 145-146.
Al-Mughni, Ibnu Qudamah, juz 2
hal. 43.
Sanadnya sebagai berikut: bercerita kepada
kami Abul Husain bin Busran, bercerita kepada kami Ismail bin Muhammad al-Shåffar,
bercerita kepada kami Sa`dan bin Nashår,
bercerita kepada kami Ma`mar dari Al-Khålil bin Murråh dari Ayyub al-Sikhtiyani dari Abu Qilabah. Periksa dalam Syu’abul Iman 2467.
Periksa dalam Nailul Authår 25/4.