SURYA Online, MADIUN - Pasangan suami istri Iroakat (60) dan Sainah (60)
warga RT 30, RW 12, Dusun Plosorejo, Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang,
Kabupaten Madiun sungguh tragis.
Pasangan yang hidup dibawa lereng Gunung Wilis ini, setiap hari hanya mengandalkan makanan dari gaplek (tiwul) saat musim kemarau. Pasalnya, sudah tidak memiliki persediaan beras untuk dimasak. Bahkan, selama ini keduanya bakal makan nasi jika mendapatkan bantuan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin).
Namun, pria wanita yang hidup di dalam rumah yang bangunanya masih terbuat dari bambu dan berlantaikan tanah ini tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Kedunya tetap tabah menjalani kehidupannya.
Iroakat bakal mendapatkan uang jika ada orang membutuhkan tenaganya sebagai buruh tani dan istrinya bakal mendapatkan uang jika ada yang membutuhkan keuletan tangannya untuk memijat bayi dan orang dewasa.
"Hampir setiap hari makan tiwul dari ubi yang ditanam di tegalan ini. Kami makan nasi jika mendapatkan beras raskin," terang Iroakat kepada Surya, Sabtu (28/7/2012).
Lebih jauh, Iroakat menjelaskan jika selama ini dia dan istrinya hanya mendapatkan jatah beras raskin 16 kilogram per bulan yang dibelinya seharga Rp 30.000. Namun jatah beras raskin itu, hanya cukup untuk bertahan selama 16 hari. Sisannya, keduanya tetap harus mengkonsumsi gaplek. Pasalnya, dlam sehari membutuhkan beras sekitar 1 kilogram lantaran mereka juga harus menghidupi cucunya yang masih duduk di bangku SMP karena ditinggal orangtuanya merantau ke Jakarta.
"Kami makan apa saja tidak masalah. Apalagi lauknya cukup ambil daun ubi-ubian yang ada di ladang atau lauk jagung," urainya.
Hal yang sama disampaikan, Ny Sainah. Menurutnya, memakan tiwul lebih dapat mengirit biaya hidup agar cucunya bisa bersekolah. Apalagi, selama ini untuk kebutuhan aliran listriknya juga masih mengandalkan saluran listrik dari bangunan rumah ananya yang ada di depannya.
"Kalau tiap hari makan nasi nggak cukup uangnya. Gaplek 1 kilogram hanya Rp 1.500, beras 1 kilogram Rp 7.500. Jadi lebih baik beli gaplek bisa buat 3 hari daripada beli beras," urainya.
Sainah mengaku jika bukan hanya dirinya yang makan gaplek. Di kampungnya, kata Sainah warga yang berusia lanjut usia apalagi tergolong sebagai keluarga miskin dipastikan mengkonsumsi gaplek daripada nasi setiap harinya.
"Disini rata-rata makan gaplek dan tiwul semuanya. Jarang makan nasi," ungkapnya.
Sementara secara terpisah Bupati Madiun, Muhtarom menegaskan jika angka kemiskinan di Kabupaten Madiun terus mengalami penurunan. Yakni dari sekitar 54.000 rumah tangga sangat miskin turun menjadi sekitar 45.000 orang. Sedangkan rumah tidak layak huni turun dari 15.000 unit menjadi 6.000 unit. Perbaikan rumah tidak layak huni bakal diselesaikan pada Tahun 2013 mendatang.
"Meski kami belum bisa menyelesaikan perbaikan seluruh bangunan rumah tidak layak huni dan menurunkan angka kemiskinan hingga 0 persen, kami tetap berusaha untuk membuat program agar mampu mengesntaskan kemiskinan. Karena masih ada rumah tak layak huni setelah berpisah dengan orangtuanya yang sama-sama menghuni rumah tak layak huni jelas menambah daftar keluarga miskin baru," tandasnya.
Pasangan yang hidup dibawa lereng Gunung Wilis ini, setiap hari hanya mengandalkan makanan dari gaplek (tiwul) saat musim kemarau. Pasalnya, sudah tidak memiliki persediaan beras untuk dimasak. Bahkan, selama ini keduanya bakal makan nasi jika mendapatkan bantuan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin).
Namun, pria wanita yang hidup di dalam rumah yang bangunanya masih terbuat dari bambu dan berlantaikan tanah ini tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Kedunya tetap tabah menjalani kehidupannya.
Iroakat bakal mendapatkan uang jika ada orang membutuhkan tenaganya sebagai buruh tani dan istrinya bakal mendapatkan uang jika ada yang membutuhkan keuletan tangannya untuk memijat bayi dan orang dewasa.
"Hampir setiap hari makan tiwul dari ubi yang ditanam di tegalan ini. Kami makan nasi jika mendapatkan beras raskin," terang Iroakat kepada Surya, Sabtu (28/7/2012).
Lebih jauh, Iroakat menjelaskan jika selama ini dia dan istrinya hanya mendapatkan jatah beras raskin 16 kilogram per bulan yang dibelinya seharga Rp 30.000. Namun jatah beras raskin itu, hanya cukup untuk bertahan selama 16 hari. Sisannya, keduanya tetap harus mengkonsumsi gaplek. Pasalnya, dlam sehari membutuhkan beras sekitar 1 kilogram lantaran mereka juga harus menghidupi cucunya yang masih duduk di bangku SMP karena ditinggal orangtuanya merantau ke Jakarta.
"Kami makan apa saja tidak masalah. Apalagi lauknya cukup ambil daun ubi-ubian yang ada di ladang atau lauk jagung," urainya.
Hal yang sama disampaikan, Ny Sainah. Menurutnya, memakan tiwul lebih dapat mengirit biaya hidup agar cucunya bisa bersekolah. Apalagi, selama ini untuk kebutuhan aliran listriknya juga masih mengandalkan saluran listrik dari bangunan rumah ananya yang ada di depannya.
"Kalau tiap hari makan nasi nggak cukup uangnya. Gaplek 1 kilogram hanya Rp 1.500, beras 1 kilogram Rp 7.500. Jadi lebih baik beli gaplek bisa buat 3 hari daripada beli beras," urainya.
Sainah mengaku jika bukan hanya dirinya yang makan gaplek. Di kampungnya, kata Sainah warga yang berusia lanjut usia apalagi tergolong sebagai keluarga miskin dipastikan mengkonsumsi gaplek daripada nasi setiap harinya.
"Disini rata-rata makan gaplek dan tiwul semuanya. Jarang makan nasi," ungkapnya.
Sementara secara terpisah Bupati Madiun, Muhtarom menegaskan jika angka kemiskinan di Kabupaten Madiun terus mengalami penurunan. Yakni dari sekitar 54.000 rumah tangga sangat miskin turun menjadi sekitar 45.000 orang. Sedangkan rumah tidak layak huni turun dari 15.000 unit menjadi 6.000 unit. Perbaikan rumah tidak layak huni bakal diselesaikan pada Tahun 2013 mendatang.
"Meski kami belum bisa menyelesaikan perbaikan seluruh bangunan rumah tidak layak huni dan menurunkan angka kemiskinan hingga 0 persen, kami tetap berusaha untuk membuat program agar mampu mengesntaskan kemiskinan. Karena masih ada rumah tak layak huni setelah berpisah dengan orangtuanya yang sama-sama menghuni rumah tak layak huni jelas menambah daftar keluarga miskin baru," tandasnya.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Negara
demokrasi bukan negara Islam membikin rakyatnya rasa takut dan lapar bukan rakyat
yang makmur dan loh jinawe. Itu relaita bukan hayalan, sulit di atasi bukan
mudah lagi. Allah telah memberikan azab
bukan rahmat kepada penduduknya. Kita
kembali saja kepada ayat:
لَقَدْ كَانَ
لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ
رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ
غَفُورٌ(15)فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ
وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ
وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ(16)ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ
نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ
Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".Tetapi
mereka berpaling,(meremehkan dan menginjak injak ajaran Allah ) maka Kami
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka
dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl
dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik