Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa sepihak PKI,
melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga PNI, ex-Masyumi
maupun Muhammadiyah…..
Memasuki tahun 1960-an
merupakan masa gegap gempitanya politik. PKI menjadi partai komunis terbesar
ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk berkuasa. PKI sadar, untuk
mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur Presiden Soekarno. Itu
sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan Presiden Soekarno.
Aksi massa
yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan
berbagai tindak kekerasan yang dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam
tindak-tindak kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan
mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak
milik orang lain yang mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu
mengkapling tanah negara maupun tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap
borjuis.
Sejumlah aksi massa PKI yang
dimulai pada pertengahan 1961 itu adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng,
Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961),
peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri
(3 November 1961), peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November
1962), sampai peristiwa pembunuhan KH Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan,
Madura (28 Juli 1965)
Perlawanan
GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).
Perlawanan anggota GP Ansor
sendiri tidak selalu dilatari oleh persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin
berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara perlawanan yang pernah dilakukan
oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo,
Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini
(Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus
itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur
kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI)
dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah.
Pengikutnya
lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot, padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot, padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.
Karena merasa tidak berdaya,
maka Haji Amir meminta bantuan kepada Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan
Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit dan parang, menghalau PKI dan BTI dari
lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan
Pemuda Rakyat pecah pula di Malang.
Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam
pidatonya mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang.
Mendengar pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik ke podium dan
langsung menyerang Karim. Para anggota Pemuda
Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik. Pemuda Rakyat banyak yang luka.
Kelahiran
Banser
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72). Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72). Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Hal ini terutama terjadi di
Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat desa maupun guru-guru yang ingin terus
bekerja harus menjadi anggota PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI
itulah kemudian pengurus Ansor kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus
yang bertugas menghadapi aksi sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri
oleh pengurus GP Ansor seperti Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri,
Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim, Abdurrohim Sidik, diputuskanlah nama
Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser. Pencetus nama Banser adalah Fadhil,
yang diterima aklamasi.
“Karena Banser adalah suatu
kekuatan paramiliter serba guna yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di
masa genting maupun aman, maka lambang yang disepakati dewasa itu berkaitan
dengan keberadaan Banser,” tutur Agus Sunyonto, penulis masalah gerakan Islam,
dalam tulisan “Mengenang Partisipasi Politik Banser pada 1965 : Lahir dalam
Tekanan PKI.”
Lambang awal Banser mencakup
tiga gambar yakni cangkul, senapan dan buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu
memiliki makna bahwa seorang anggota Banser siap melakukan pekerjaan membantu
masyarakat yang membutuhkan (simbol cangkul), siap pula membela agama, bangsa
dan negara (senapan) dan siap pula belajar (buku).
Dalam tempo singkat, setelah
Banser Blitar terbentuk, secara berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah.
Dan pada 24 April 1964, Banser dinyatakan sebagai program Ansor secara
nasional. Mula-mula, Banser dilatih oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula
oleh RPKAD, Raiders dan batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh
pihak militer, Banser secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat
dengan berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal
sebagai pembina spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim
(Tulungagung), KH Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH
Syafii Marzuki (Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH
Djawahiri (Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Siddiq
(Jember).
Hasil kongkret dari
pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi sepihak PKI makin meningkat.
Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser untuk memobilisasi kekuatan
berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan seperti itu, mulai sering
terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser dengan PKI. Bahkan pada
gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan anggota Banser terhadap
aksi-aksi massa
maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah berbagai bentrokan fisik antara Banser
dengan PKI di berbagai tempat seperti: Peristiwa Kanigoro.
Pada 13 Januari 1965 tepat
pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang Pemuda Rakyat dan BTI melakukan
penyerbuan terhadap pondok pesantren Kanigoro, Kras, Kediri. Alasan mereka
melakukan penyerbuan, karena di pesantren itu sedang diselenggarakan Mental
Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Pimpinan penyerbu itu adalah Suryadi
dan Harmono. Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu menyerbu dengan bersenjatakan
golok, pedang, kelewang, arit, dan pentungan sambil berteriak histeris: –
“Ganyang santri…!”, “Ganyang Serban…!”, “Ganyang Kapitalis..!”, “Ganyang
Masyumi…!”.
Para
anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian mengumpulkan kitab-kitab
pelajaran agama dan Al-Qur’an. Kemudian semua dimasukkan ke dalam karung dan
diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan pondok, Haji Said Koenan, dan
pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan dianiaya. Para
pengurus PII digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat. Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII adalah anak
organisasi Masyumi yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut PKI, berusaha
melakukan tindak makar dengan mengadakan training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan
BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam tempo singkat menyulut kemarahan Banser
Kediri. Gus Maksum “putera KH Djauhari” segera melakukan konsolidasi. Siang
itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi Banser dari Kediri datang ke Kanigoro. Markas dan
rumah-rumah anggota PKI digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI,
ditangkap dan diserahkan ke Polsek.
Banser Versus LekraPKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam yakni : “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Pada saat ludruk sedang
ramai, tiba- tiba Banser melakukan serangan mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain dihajar. Bahkan salah seorang pemain yang
memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian raja.
Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI
diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon “Malaikat
Kawin“. Banser datang dari berbagai desa sekitar. Pada saat
ludruk dipentaskan para anggota Banser yang menonton di bawah panggung segera
melompat ke atas panggung. Kemudian dengan pisau terhunus, satu demi satu para
pemain itu dicengkeram tubuhnya. (Sumber: Duta Masyarakat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik