Sumber : http://blogseotest.blogspot.com/2012/01/cara-memasang-artikel-terkait-bergambar.html#ixzz2HNYeE9JU

Pages

Blogroll

Rabu, 14 November 2012

Para Perwira Militer yang Melawan


Kahar Muzakar/ luwuraya.net
  • Kalau Kahar Muzakar ingin tetap dihormati sebagai pejuang kemerdekaan, itu sah-sah saja. Lha wong Soekarno yang pernah ‘akrab’ dengan komunis (dan komunis pernah melakukan percobaan kudeta) saja diberi gelar pahlawan nasional (10 November 2012). Namun, kalau Kahar Muzakar ingin dikenang sebagai pemberontak, janganlah dikaitkan dengan Islam, apalagi dilabeli Islam Fundamentalis segala. Itu hanya akan menyakiti umat Islam.
  • Selain menyakiti, juga akan membebani secara sosiopsikologis kepada umat Islam di Indonesia ini. Karena, kemungkinan besar gerakan separatis Kahar Muzakar saat itu merupakan bentuk infiltrasi intelijen asing (negara-negara Barat) yang khawatir dengan kedekatan Soekarno pada komunisme (Soviet dan China). Masalahnya, Kahar membawa-bawa Islam, dan gagal.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tercatat ada sejumlah perwira militer yang berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno. Mereka adalah Letnan Kolonel Ventje Sumual (Permesta), Letnan Kolonel Ahmad Husein (PRRI), dan Letnan Kolonel Kahar Muzakar (DI/TII Sulawesi Selatan).
Letkol Ventje Sumual
Nama lengkap perwira menengah TNI tokoh Permesta ini adalah Herman Nicolas Ventje Sumual, kelahiran Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tanggal 11 Juni 1923. Bapaknya seorang sedadu Belanda (KNIL) berpangkat sersan.
Pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Letkol Ventje Sumual mengumumkan SOB (staat van oorlog en beleg, negara dalam keadaan bahaya) di Indonesia Timur, sekaligus memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Bagi Ventje, gerakan Permesta bukanlah sebuah pemberontakan, karena undang-undang yang ada memungkinkan panglima teritorial menyatakan keadaan darurat perang (SOB), perangkat hukum buatan Belanda yang masih berlaku.
Namun kilah itu hanyalah sebuah apologi yang tak bermakna. Karena tatkala diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado, sebuah forum yang melahirkan proklamasi Permesta, jelas dibicarakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat.
Saat itu juga pemerintah pusat memecat tokoh-tokoh Permesta dengan tidak hormat. Mereka adalah Letkol Ventje Sumual, Mayor Eddy Gagola, Mayor Dolf Runturambi, Mayor D.J. Somba, Kapten Wim Najoan, dan sebagainya.
Semula, pusat gerakan Permesta berada di Makassar yang saat itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, 1958, pusat gerakan pindah ke Manado, seiring surutnya dukungan masyarakat Makassar terhadap gerakan Permesta.
Gerakan separatis Permesta pimpinan Ventje Sumual ini, mendapat bantuan dan dukungan dari Amerika Serikat serta negara-negara pro Barat seperti Taiwan, Korea Selatan, Philipina serta Jepang.
Amerika Serikat selain mendatangkan penasehat-penasehat militernya, juga memberikan sejumlah bantuan berupa Amunisi, mitraliur anti pesawat terbang. Bahkan, untuk memperkuat angkatan udara gerakan Permesta yang dinamakam AUREV (Angkatan Perang Revolusioner), Amerika Serikat mendatangkan sejumlah pesawat terbang, seperti pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated PBY Catalina dan pembom B-26 Invader.
Keseriusan gerakan Permesta memisahkan diri dapat dilihat dari dibentuknya suatu badan dan satuan kepolisian seperti, Polisi Revolusioner, Pasukan Wanita Permesta (PWP), dan Permesta Yard (badan intelejen Permesta).
Gerakan Permesta semakin jelas terlihat sebagai gerakan separatis, ketika pada tanggal 17 Februari 1959, mereka secara serentak melakukan serangan besar-besaran yang diberi nama operasi Operation Djakarta Special One untuk menduduki beberapa kota srategis seperti Langowan, Tondano dan Amurang-Tumpaan, dan sejumlah daerah lainnya di Sulawesi Utara. Namun demikian, operasi tersebut mengalami kegagalan karena berhasil dipatahkan oleh pasukan pemerintah RI.
Akhirnya, pada tahun 1960, pihak Permesta menyatakan kesediaannya untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Dan pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi Amnesti dan Abolisi kepada mereka. Juga, bagi anggota DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Usai penyerahan diri, Ventje Sumual dikarantina di Rumah Tahanan Militer Cipayung, hingga 1963, dilanjutkan di Rumah Tahanan Militer, Setiabudi, Jakarta hingga 1966. Pada masa Orde Baru, tanggal 26 Juli 1966, seorang jaksa bernama Adnan Buyung Nasution datang ke rumah tahanan militer termpat Ventje dan kawan-kawan berada, dan membacakan surat pembebasan bagi mereka.
Ventje Sumual melanjutkan hidupnya sebagai pengusaha dan ‘partner’ Orde Baru. Meninggal dunia pada tanggal  28 Maret 2010 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akibat menderita kanker. Jenazahnya dimakamkan kemudian di Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta.
Hingga kini, masyarakat Sulawesi Utara mengangap gerakan separatis Permesta Ventje Sumual bukanlah pemberontakan terhadap rezim Soekarno. Bahkan Gubernur Sulawesi Utara Dr (HC) Sinyo Harry Sarundajang, dalam sebuah bukunya menyebutkan Ventje Sumual sebagai pelopor otonomi daerah, dan gerakan Permesta merupakan sebuah perjuangan yang menggugat pentingnya pemerataan pembangunan, otonomi daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Letkol Ahmad Husein
Sebagaimana halnya Letkol Ventje Sumual, tokoh PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) Letkol Ahmad Husein ini juga merasa tidak melakukan pemberontakan.
Ketika Ahmad Husein mengumumkan berdirinya “pemerintah tandingan” pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang Sumatera Barat, saat itu ia menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer/Penguasa Perang Daerah Sumatera Tengah, merangkap Kepala Pemerintahan Sumatera Tengah dan Ketua Dewan Banteng.
Sebelum menggulirkan gerakan PRRI, pada 10 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengeluarkan ultimatum bernama “Piagam Perjuangan” yang berisi sejumlah tuntutan tertuju kepada Presiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusional” dan menghapuskan segala tindakan yang melanggar Undang-Undang Dasar serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
Ultimatum itu dibacakan oleh Kolonel Simbolon melalui RRI (Radio Republik Indonesia) Padang. Sayangnya, saat itu Presiden Soekarno sedang berada di Tokyo. Sekembalinya dari Tokyo, Soekarno memerintahkan untuk menangkap Ahmad Husein, termasuk Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Barlian. Bahkan juga tokoh Permesta di Sulawesi seperti Kolonel A.Kawilarang, Letnan Kolonel H.N.Ventje Samuel dan Kolonel J.F.Warouw.
Ahmad Husein (kelahiran Padang, 1 April 1925) ketika itu tidak mau menyerah, bahkan mengumumkan pemerintahan tandingan, yang terdiri dari Sjafruddin Prawiranegara (Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan), Assaat Dt. Mudo (Menteri Dalam Negeri), Dahlan Djambek, Maluddin Simbolon (Menteri Luar Negeri), Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (Menteri Perhubungan dan Pelayaran), Muhammad Sjafei (Menteri PPK dan Kesehatan), J.F. Warouw (Menteri Pembangunan), Saladin Sarumpaet (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Muchtar Lintang (Menteri Agama), Saleh Lahade (Menteri Penerangan), Ayah Gani Usman (Menteri Sosial).
Maka, perang antara daerah melawan pusat pun berlangsung sejak bulan Maret 1958 hingga akhirnya pasukan PRRI menyerahkan diri. Pada bulan April 1961, Ahmad Husein menyerahkan surat penyerahan dirinya kepada Presiden Soekarno, dan sejak Juli 1961 Ahmad Husein beserta seluruh anak buahnya kembali ke Resimen Team Pertempuran (RTP) Solok, Sumatera Barat.
Namun demikian ia dikarantina di Rumah Tahanan Militer Cipayung sekamar dengan Ventje Sumual. Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, Ahmad Husein dibebaskan, dan diberikan pensiun setingkat Letnan Kolonel TNI Angkatan Darat.
Setelah dibebaskan dari karantina politik, Ahmad Husein bersama kawan-kawannya diajak kerja sama oleh Ali Murtopo (saat itu berpangkat Kolonel) menjadi anggota Operasi Khusus (Opsus), dengan tugas khusus menghubungi tokoh-tokoh dan negara-negara yang dulu membantu pemberontakan PRRI maupun Permesta.
Sebagaimana Permesta, PRRI juga mendapat dukungan dan bantuan dari CIA (Amerika Serikat). Bahkan mendapat liputan gencar dari media internasional seperti The New York Times, The Washington Post, The Wall Street Journal dan Majalah Mingguan TIME. Pada umumnya mereka berharap bahwa kelompok anti Soekarno akan menang. Ternyata harapan Amerika Serikat tidak menjadi kenyataan: PRRI kalah total.
Pada tanggal 28 November 1998, Ahmad Husein meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kuranji, Padang Sumatera Barat. Sementara itu, Syafruddin Prawiranegara kelahiran Serang (Banten) 28 Februari 1911 pada 10 November 2011 diakui sebagai Pahlawan nasional oleh pemerintahan SBY.
Syafruddin Prawiranegara yang pernah menjabat sebagai Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ini, meninggal dunia pada 15 Februari 1989. Syafruddin menjabat Presiden PDRI ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Letkol Kahar Muzakkar
Berbeda dengan Ahmad Husein dan Ventje Sumual yang aksi pemberontakanya berakhir dengan happy ending, tidak demikian halnya dengan pemberontakan Kahar Muzakar yang jsutru diliputi misteri. Terutama tentang kematiannya.
Kahar Muzakar yang bernama asli Ladomeng ini lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada tanggal 24 Maret 1921. Ketika penjajah Jepang masuk ke Sulawesi (1942), Kahar Muzakar tidak sepaham dengan banyak pemuda kala itu yang menganggap Jepang sebagai pembebas dari timur. Bahkan ia menentang sikap Kerajaan Luwu yang begitu kooperatif dengan Jepang.
Sikap Kahar Muzakar kala itu dimaknai sebagai penghinaan terhadap Kerajaan Luwu, sehingga diganjar hukuman adat berupa ri paoppangi tana, keluar dari tanah kelahiran.
Sejak saat itu Kahar Muzakar total mengabdikan dirinya pada perjuangan kemerdekaan RI. Beberapa bulan pasca proklamasi kemerdekaan, Desember 1945, Kahar Muzakar membebaskan sekitar 800 pemuda-pemuda (sebagian berasal dari Sulawesi Selatan) yang ditahan di Nusakambangan.
Para pemuda itu kemudian menjadi lasykar yang diberi nama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) pimpinan Kahar Muzakar, dan ia menuntut agar KGSS dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan ke dalam satu brigade (Brigade Hasanuddin) di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara para lasykar tadi yang tidak memenuhi syarat sebagai anggota militer. Sebagai gantinya, pemerintah bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Namun, Kahar tidak puas. Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan.
Pada tahun 1950, Kahar Muzakar membentuk PRRI. Namun pada tanggal 7 Agustus 1953, Kahar Muzakar menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Untuk menghadapi pemberontakan Kahar, pemerintah menempuh dua cara: melancarkan operasi militer, dan menawarkan amnesti dan abolisi. Namun Kahar terus menunjukkan perlawanan. Sejak September 1961, serangkaian operasi militer yang dilancarkan TNI, membuat kedudukan DI/TII Kahar Muzakar semakin sulit.
Pada 21 Oktober 1961 Kahar mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf. Akhirnya Kahar dan Jusuf bertemu di Bonepute, sebelah selatan Palopo. Dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan dan kepatuhannya terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian keamanan dan penyaluran anggota DI/TII.
Ternyata, Kahar Muzakkar ingkar janji. Ia menjadikan pertemuan dengan Jusuf itu sebagai siasat mengulur-ulur waktu agar DI/TII pimpinanya tidak lekas hancur.
Sepuluh tahun setelah menyatakan bergabung dengan DI/TII, pada 1963, Kahar Muzakar bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).
Masih di tahun 1963, Kahar Muzakar mengutus istrinya Susana Corry Van Stenus untuk menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Saat itu Corry membawa sepucuk surat dari Kahar untuk Soekarno berisi pernyataan Kahar bahwa ia bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan republik dengan dua syarat. Pertama, Soekarno membubarkan PKI. Kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai asas negara. Namun, Soekarno tidak memenuhi permintaan tersebut.
Pemberontakan Kahar terus berlanjut. Sampai akhirnya Kahar Muzakkar dinyatakan berhasil ditembak mati oleh Kopral II Ili Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 3 Februari 1965, bertepatan dengan Idul Fitri.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa, sesaat setelah Kahar dinyatakan berhasil ditangkap, Kolonel Jusuf segera menuju lokasi. Kemudian Jusuf dan Kahar masuk hutan. Di dalam hutan itulah Jusuf melepas Kahar, dan membiarkan bekas atasannya itu menghilang.
Yang pasti, menurut penuturan Ili Sadeli kepada Pikiran Rakyat edisi 05 April 2003, tak berapa lama setelah ia meyakini berhasil menembak mati Kahar, sebuah helikopter dikirim untuk menjemput mayat Kahar. Saat itu Sadeli ikut mengawal mayat itu hingga ke Makassar. Bahkan, di atas helikopter, dia sempat berfoto dengan Jenazah Kahar.
Sejak sampai di Makassar, Sadeli tak tahu lagi kelanjutan jenazah Kahar dibawa. Ia hanya hanya mendengar kabar mayat Kahar Muzakkar dibawa pihak lain yang tidak dikenalinya. Sejak itulah jenazah Kahar seperti hilang, tak jelas dimana makamnya.
Misteri itu ternyata berlanjut. Ketika pada awal 1999 muncul sesosok tua yang mengaku-aku sebagai Kahar Muzakar. Nama sosok tua tersebut adalah Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah. Syamsuri ini sehari-hari dikenal sebagai Imam Besar Majelis An Nadzir (Pondok Pesantren An Nadzir), Dumai.
Wajahnya saat itu (1999) terlihat ‘cukup muda’ untuk pria kelahiran 1921 (merujuk kelahiran Kahar Muzakar pada 24 Maret 1921). Namun para pengikutnya, seperti Hamzah dan Qahir yakin betul sosok tersebut benar-benar Kahar Muzakar, ketika pada saat bersamaan sebagian masyarakat meragukan sosok bernama Syamsuri itu adalah Kahar Muzakar.
Menurut kabar, Syamsuri yang mengaku Kahar ini meninggal dunia pada tanggal 05 Agustus 2006, dalam perjalanan menuju RS Persahabatan, Jakarta. Jenazah Syamsuri akhirnya dimakamkan di Dumai. Kala itu disebutkan usia Syamsuri saat meninggal adalah 83 tahun. Sedangkan kalau benar ia Kahar Muzakar yang lahir 1921, maka seharusnya usia Syamsuri 85 tahun. Memang beda tipis.
Yang jelas, berbeda dengan dua perwira militer ‘pemberontak’ sebelumnya, akhir perjalanan Kahar Muzakar selain berbalut misteri juga tidak happy ending. Ahmad Husein dan Ventje Sumual, tidak membawa-bawa agama dalam aksi pemberontakannya. Ahmad Husein adalah Muslim, sedangkan Ventje Sumual Protestan. Bahkan mereka bersedia kembali ke pangkuan RI. Sedangkan Kahar Muzakar selain terus melawan juga membawa-bawa Islam, bahkan sebelum akhirnya tertembak ia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah di Republik Persatuan Islam, bukan NII lagi.
Apakah Kahar Muzakar seorang pemberontak atau mujahid Islam? Hanya Allah yang tahu. Yang pasti, Kahar bukan seorang ulama Islam yang punya otoritas keilmuan (keulamaan) untuk hal-hal yang diperjuangkannya. Kahar adalah perwira militer pejuang kemerdekaan yang kecewa dengan pemerintah pusat. Apalagi, ia juga pernah menjadi anggota PMC (Penjelidik Militer Chusus), salah satu institusi intelejen pada masa awal kemerdekaan.
Kalau Kahar Muzakar ingin tetap dihormati sebagai pejuang kemerdekaan, itu sah-sah saja. Lha wong Soekarno yang pernah ‘akrab’ dengan komunis (dan komunis pernah melakukan percobaan kudeta) saja diberi gelar pahlawan nasional (10 November 2012). Namun, kalau Kahar Muzakar ingin dikenang sebagai pemberontak, janganlah dikaitkan dengan Islam, apalagi dilabeli Islam Fundamentalis segala. Itu hanya akan menyakiti umat Islam.
Selain menyakiti, juga akan membebani secara sosiopsikologis kepada umat Islam di Indonesia ini. Karena, kemungkinan besar gerakan separatis Kahar Muzakar saat itu merupakan bentuk infiltrasi intelijen asing (negara-negara Barat) yang khawatir dengan kedekatan Soekarno pada komunisme (Soviet terutama). Masalahnya, Kahar membawa-bawa Islam, dan gagal.
(tede/nahimunkar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar dengan baik