Jakarta, NU Online
Untuk mengambil peran dalam pemberantasan korupsi, tokoh agama diharapkan tidak menghadiri sembahyang jenazah mereka yang terbukti korupsi. Tokoh agama perlu mengambil tindakan tersebut sebagai upaya strategis di tengah masyarakat.
Hal ini dikemukakan oleh KH. Malik Madani, Katib Aam PBNU dalam diskusi terbuka dengan tajuk ‘Meneguhkan Gerakan Agama Antikorupsi’ yang diselenggarakan Lakpesdam NU di gedung PBNU, Kamis (22/11) petang.
“Putusan NU mengatakan demikian. Jadi sembahyang jenazah koruptor cukup dilakukan kalangan orang awam saja,” kata Katib Aam di hadapan sedikitnya empat puluh orang peserta diskusi yang juga dihadiri oleh penasihat KPK, tokoh agama Katolik dan Konghucu.
Menurut Kiai Malik, para tokoh agama bukan hanya menggemakan suara moral antikorupsi. Mereka juga bisa mengambil peran konkret dalam mengatasi persoalan korupsi. Para tokoh agama, kiai, pendeta, biksu, bisa antara lain memboikot pengurusan jenazah koruptor.
Kiai Malik menambahkan, putusan NU itu tidak berarti melarang masyarakat untuk menyembahyangkan jenazah koruptor. Karena, pengurusan jenazah itu wajib kifayah mulai dari pemandian, pengafanan, penyembahyangan, dan penguburan. Hanya saja, wajib kifayah itu menjadi gugur saat diwakili oleh segelintir masyarakat.
“Putusan NU itu berlaku bagi kalangan kiai saja. Untuk umat Islam yang bukan kiai atau tokoh agama, tetap berkewajiban untuk mengurusi jenazah koruptor,” imbuhnya.
Putusan NU itu bernilai strategis karena kiai, ulama, dan tokoh agama merupakan barisan terdepan dalam kehidupan keberagamaan di tengah masyarakat. Cara-cara konkret tokoh agama seperti itu tidak bisa dianggap sepele. Tindakan itu cukup menggentarkan mereka yang berniat korupsi mengingat masyarakat Indonesia masih terbilang religius yang menggantungkan upacara-upacara keagamaan kepada tokoh agama, tegasnya.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Alhafiz Kurniawan
Untuk mengambil peran dalam pemberantasan korupsi, tokoh agama diharapkan tidak menghadiri sembahyang jenazah mereka yang terbukti korupsi. Tokoh agama perlu mengambil tindakan tersebut sebagai upaya strategis di tengah masyarakat.
Hal ini dikemukakan oleh KH. Malik Madani, Katib Aam PBNU dalam diskusi terbuka dengan tajuk ‘Meneguhkan Gerakan Agama Antikorupsi’ yang diselenggarakan Lakpesdam NU di gedung PBNU, Kamis (22/11) petang.
“Putusan NU mengatakan demikian. Jadi sembahyang jenazah koruptor cukup dilakukan kalangan orang awam saja,” kata Katib Aam di hadapan sedikitnya empat puluh orang peserta diskusi yang juga dihadiri oleh penasihat KPK, tokoh agama Katolik dan Konghucu.
Menurut Kiai Malik, para tokoh agama bukan hanya menggemakan suara moral antikorupsi. Mereka juga bisa mengambil peran konkret dalam mengatasi persoalan korupsi. Para tokoh agama, kiai, pendeta, biksu, bisa antara lain memboikot pengurusan jenazah koruptor.
Kiai Malik menambahkan, putusan NU itu tidak berarti melarang masyarakat untuk menyembahyangkan jenazah koruptor. Karena, pengurusan jenazah itu wajib kifayah mulai dari pemandian, pengafanan, penyembahyangan, dan penguburan. Hanya saja, wajib kifayah itu menjadi gugur saat diwakili oleh segelintir masyarakat.
“Putusan NU itu berlaku bagi kalangan kiai saja. Untuk umat Islam yang bukan kiai atau tokoh agama, tetap berkewajiban untuk mengurusi jenazah koruptor,” imbuhnya.
Putusan NU itu bernilai strategis karena kiai, ulama, dan tokoh agama merupakan barisan terdepan dalam kehidupan keberagamaan di tengah masyarakat. Cara-cara konkret tokoh agama seperti itu tidak bisa dianggap sepele. Tindakan itu cukup menggentarkan mereka yang berniat korupsi mengingat masyarakat Indonesia masih terbilang religius yang menggantungkan upacara-upacara keagamaan kepada tokoh agama, tegasnya.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Alhafiz Kurniawan
Komentarku ( Mahrus ali):
Korupsi bukan dosa kesyirikan, masih bisadi ampun oleh Allah
berdasarkan ayat:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا(116)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka
sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Nisa` 116.
Sebetulnya yang berbahaya adalah
pengamal kesyirikan seperti manakiban, sholawat Nariyah, burdahan dll. Pelaku
amalan tsb adalah musrik yang tidak
layak di salati ketika mati sebagaimana
ayat:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ(113)
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang
musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam. 113 Tobat.
Kecuali koroptor itu penegak hukum
Thaghut dan menginjak hukum Allah atau enggan memeraktekkannya lalu aktif memeraktekkan hukum Thaghut maka termasuk
kafir sebagaimana ayat:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir (QS Al Maidah 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik