Kahar
Muzakar/ luwuraya.net
- Kalau Kahar Muzakar ingin tetap
dihormati sebagai pejuang kemerdekaan, itu sah-sah saja. Lha wong
Soekarno yang pernah ‘akrab’ dengan komunis (dan komunis pernah melakukan
percobaan kudeta) saja diberi gelar pahlawan nasional (10 November 2012).
Namun, kalau Kahar Muzakar ingin dikenang sebagai pemberontak, janganlah
dikaitkan dengan Islam, apalagi dilabeli Islam Fundamentalis segala. Itu
hanya akan menyakiti umat Islam.
- Selain menyakiti, juga akan membebani secara
sosiopsikologis kepada umat Islam di Indonesia ini. Karena, kemungkinan
besar gerakan separatis Kahar Muzakar saat itu merupakan bentuk infiltrasi
intelijen asing (negara-negara Barat) yang khawatir dengan kedekatan
Soekarno pada komunisme (Soviet dan China). Masalahnya, Kahar
membawa-bawa Islam, dan gagal.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
tercatat ada sejumlah perwira militer yang berani melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Republik Indonesia
yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno. Mereka adalah Letnan Kolonel
Ventje Sumual (Permesta), Letnan Kolonel Ahmad Husein (PRRI), dan Letnan
Kolonel Kahar Muzakar (DI/TII Sulawesi Selatan).
Letkol
Ventje Sumual
Nama lengkap
perwira menengah TNI tokoh Permesta ini adalah Herman Nicolas Ventje Sumual,
kelahiran Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tanggal 11
Juni 1923. Bapaknya seorang sedadu Belanda (KNIL) berpangkat sersan.
Pada tanggal 2
Maret 1957 di Makassar, Letkol Ventje Sumual mengumumkan SOB (staat van oorlog
en beleg, negara dalam keadaan bahaya) di Indonesia Timur, sekaligus
memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Bagi Ventje,
gerakan Permesta bukanlah sebuah pemberontakan, karena undang-undang yang ada
memungkinkan panglima teritorial menyatakan keadaan darurat perang (SOB),
perangkat hukum buatan Belanda yang masih berlaku.
Namun kilah itu
hanyalah sebuah apologi yang tak bermakna. Karena tatkala diadakan pertemuan di
ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado, sebuah forum yang melahirkan
proklamasi Permesta, jelas dibicarakan pemutusan hubungan dengan pemerintah
pusat.
Saat itu juga
pemerintah pusat memecat tokoh-tokoh Permesta dengan tidak hormat. Mereka
adalah Letkol Ventje Sumual, Mayor Eddy Gagola, Mayor Dolf Runturambi, Mayor
D.J. Somba, Kapten Wim Najoan, dan sebagainya.
Semula, pusat
gerakan Permesta berada di Makassar yang saat itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun
kemudian, 1958, pusat gerakan pindah ke Manado,
seiring surutnya dukungan masyarakat Makassar
terhadap gerakan Permesta.
Gerakan separatis
Permesta pimpinan Ventje Sumual ini, mendapat bantuan
dan dukungan dari Amerika Serikat serta negara-negara pro Barat seperti Taiwan, Korea
Selatan, Philipina serta Jepang.
Amerika Serikat
selain mendatangkan penasehat-penasehat militernya, juga memberikan sejumlah
bantuan berupa Amunisi, mitraliur anti pesawat terbang. Bahkan, untuk
memperkuat angkatan udara gerakan Permesta yang dinamakam AUREV (Angkatan
Perang Revolusioner), Amerika Serikat mendatangkan sejumlah pesawat terbang,
seperti pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang,
Beachcraft, Consolidated PBY Catalina dan pembom B-26 Invader.
Keseriusan gerakan
Permesta memisahkan diri dapat dilihat dari dibentuknya suatu badan dan satuan
kepolisian seperti, Polisi Revolusioner, Pasukan Wanita Permesta (PWP), dan
Permesta Yard (badan intelejen Permesta).
Gerakan Permesta
semakin jelas terlihat sebagai gerakan separatis, ketika pada tanggal 17
Februari 1959, mereka secara serentak melakukan serangan besar-besaran yang
diberi nama operasi Operation Djakarta Special One untuk
menduduki beberapa kota srategis seperti Langowan, Tondano dan Amurang-Tumpaan,
dan sejumlah daerah lainnya di Sulawesi Utara. Namun demikian, operasi tersebut
mengalami kegagalan karena berhasil dipatahkan oleh pasukan pemerintah RI.
Akhirnya, pada
tahun 1960, pihak Permesta menyatakan kesediaannya untuk berunding dengan
Pemerintah Pusat. Dan pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961
memberi Amnesti dan Abolisi kepada mereka. Juga, bagi anggota DI/TII di Jawa
Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Usai penyerahan
diri, Ventje Sumual dikarantina di Rumah Tahanan Militer Cipayung, hingga 1963,
dilanjutkan di Rumah Tahanan Militer, Setiabudi, Jakarta hingga 1966. Pada masa Orde Baru,
tanggal 26 Juli 1966, seorang jaksa bernama Adnan Buyung Nasution datang ke
rumah tahanan militer termpat Ventje dan kawan-kawan berada, dan membacakan
surat pembebasan bagi mereka.
Ventje Sumual
melanjutkan hidupnya sebagai pengusaha dan ‘partner’ Orde Baru. Meninggal dunia
pada tanggal 28 Maret 2010 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akibat menderita
kanker. Jenazahnya dimakamkan kemudian di Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta.
Hingga kini,
masyarakat Sulawesi Utara mengangap gerakan separatis Permesta Ventje Sumual
bukanlah pemberontakan terhadap rezim Soekarno. Bahkan Gubernur Sulawesi Utara
Dr (HC) Sinyo Harry Sarundajang, dalam sebuah bukunya menyebutkan Ventje Sumual
sebagai pelopor otonomi daerah, dan gerakan Permesta merupakan sebuah
perjuangan yang menggugat pentingnya pemerataan pembangunan, otonomi daerah,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Letkol
Ahmad Husein
Sebagaimana halnya
Letkol Ventje Sumual, tokoh PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
Letkol Ahmad Husein ini juga merasa tidak melakukan pemberontakan.
Ketika Ahmad
Husein mengumumkan berdirinya “pemerintah tandingan” pada tanggal 15 Februari
1958 di Padang Sumatera Barat, saat itu ia menjabat sebagai Panglima Komando
Daerah Militer/Penguasa Perang Daerah Sumatera Tengah, merangkap Kepala
Pemerintahan Sumatera Tengah dan Ketua Dewan Banteng.
Sebelum
menggulirkan gerakan PRRI, pada 10 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengeluarkan
ultimatum bernama “Piagam Perjuangan” yang berisi sejumlah tuntutan tertuju
kepada Presiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukannya yang
konstitusional” dan menghapuskan segala tindakan yang melanggar Undang-Undang
Dasar serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
Ultimatum itu
dibacakan oleh Kolonel Simbolon melalui RRI (Radio Republik Indonesia) Padang.
Sayangnya, saat itu Presiden Soekarno sedang berada di Tokyo. Sekembalinya dari Tokyo, Soekarno
memerintahkan untuk menangkap Ahmad Husein, termasuk Kolonel Zulkifli Lubis,
Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Barlian. Bahkan juga tokoh Permesta di
Sulawesi seperti Kolonel A.Kawilarang, Letnan
Kolonel H.N.Ventje Samuel dan Kolonel J.F.Warouw.
Ahmad Husein
(kelahiran Padang, 1 April 1925) ketika itu tidak mau menyerah, bahkan
mengumumkan pemerintahan tandingan, yang terdiri dari Sjafruddin Prawiranegara
(Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan), Assaat Dt. Mudo (Menteri Dalam
Negeri), Dahlan Djambek, Maluddin Simbolon (Menteri Luar Negeri), Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo (Menteri Perhubungan dan Pelayaran), Muhammad Sjafei
(Menteri PPK dan Kesehatan), J.F. Warouw (Menteri Pembangunan), Saladin
Sarumpaet (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Muchtar Lintang (Menteri Agama),
Saleh Lahade (Menteri Penerangan), Ayah Gani Usman (Menteri Sosial).
Maka, perang
antara daerah melawan pusat pun berlangsung sejak bulan Maret 1958 hingga
akhirnya pasukan PRRI menyerahkan diri. Pada bulan April 1961, Ahmad Husein
menyerahkan surat penyerahan dirinya kepada Presiden Soekarno, dan sejak Juli
1961 Ahmad Husein beserta seluruh anak buahnya kembali ke Resimen Team
Pertempuran (RTP) Solok, Sumatera Barat.
Namun demikian ia
dikarantina di Rumah Tahanan Militer Cipayung sekamar dengan Ventje Sumual.
Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, Ahmad Husein dibebaskan, dan diberikan
pensiun setingkat Letnan Kolonel TNI Angkatan Darat.
Setelah dibebaskan
dari karantina politik, Ahmad Husein bersama kawan-kawannya diajak kerja sama
oleh Ali Murtopo (saat itu berpangkat Kolonel) menjadi anggota Operasi Khusus
(Opsus), dengan tugas khusus menghubungi tokoh-tokoh dan negara-negara yang
dulu membantu pemberontakan PRRI maupun Permesta.
Sebagaimana
Permesta, PRRI juga mendapat dukungan dan bantuan dari CIA (Amerika Serikat). Bahkan mendapat liputan gencar dari media
internasional seperti The New York Times, The Washington Post, The Wall Street
Journal dan Majalah Mingguan TIME. Pada umumnya mereka berharap bahwa kelompok
anti Soekarno akan menang. Ternyata harapan Amerika Serikat tidak menjadi
kenyataan: PRRI kalah total.
Pada tanggal 28
November 1998, Ahmad Husein meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kuranji, Padang Sumatera Barat. Sementara itu, Syafruddin
Prawiranegara kelahiran Serang (Banten) 28 Februari 1911 pada 10 November 2011
diakui sebagai Pahlawan nasional oleh pemerintahan SBY.
Syafruddin
Prawiranegara yang pernah menjabat sebagai Presiden PDRI (Pemerintah Darurat
Republik Indonesia)
ini, meninggal dunia pada 15 Februari 1989. Syafruddin menjabat Presiden PDRI
ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda,
ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Letkol
Kahar Muzakkar
Berbeda dengan
Ahmad Husein dan Ventje Sumual yang aksi pemberontakanya berakhir dengan happy
ending, tidak demikian halnya dengan pemberontakan Kahar Muzakar yang
jsutru diliputi misteri. Terutama tentang kematiannya.
Kahar Muzakar yang
bernama asli Ladomeng ini lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan
pada tanggal 24 Maret 1921. Ketika penjajah Jepang masuk ke Sulawesi
(1942), Kahar Muzakar tidak sepaham dengan banyak pemuda kala itu yang
menganggap Jepang sebagai pembebas dari timur. Bahkan ia menentang sikap
Kerajaan Luwu yang begitu kooperatif dengan Jepang.
Sikap Kahar
Muzakar kala itu dimaknai sebagai penghinaan terhadap Kerajaan Luwu, sehingga
diganjar hukuman adat berupa ri paoppangi tana, keluar dari tanah
kelahiran.
Sejak saat itu
Kahar Muzakar total mengabdikan dirinya pada perjuangan kemerdekaan RI.
Beberapa bulan pasca proklamasi kemerdekaan, Desember 1945, Kahar Muzakar
membebaskan sekitar 800 pemuda-pemuda (sebagian berasal dari Sulawesi Selatan)
yang ditahan di Nusakambangan.
Para pemuda itu
kemudian menjadi lasykar yang diberi nama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) pimpinan Kahar Muzakar, dan ia menuntut agar KGSS dan kesatuan gerilya
lainnya dimasukkan ke dalam satu brigade (Brigade Hasanuddin) di bawah
pimpinanya.
Tuntutan itu ditolak
karena banyak diantara para lasykar tadi yang tidak memenuhi syarat sebagai
anggota militer. Sebagai gantinya, pemerintah bekas gerilyawan itu ke Corps
Tjadangan Nasional (CTN). Namun, Kahar tidak puas. Pada saat dilantik sebagai
Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para
pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan.
Pada tahun 1950,
Kahar Muzakar membentuk PRRI. Namun pada tanggal 7 Agustus 1953, Kahar Muzakar
menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Untuk menghadapi
pemberontakan Kahar, pemerintah menempuh dua cara: melancarkan operasi militer,
dan menawarkan amnesti dan abolisi. Namun Kahar terus menunjukkan perlawanan.
Sejak September 1961, serangkaian operasi militer yang dilancarkan TNI, membuat
kedudukan DI/TII Kahar Muzakar semakin sulit.
Pada 21 Oktober
1961 Kahar mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin,
Kolonel Muhammad Jusuf. Akhirnya Kahar dan Jusuf bertemu di Bonepute, sebelah
selatan Palopo. Dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan
dan kepatuhannya terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian
keamanan dan penyaluran anggota DI/TII.
Ternyata, Kahar
Muzakkar ingkar janji. Ia menjadikan pertemuan dengan Jusuf itu sebagai siasat
mengulur-ulur waktu agar DI/TII pimpinanya tidak lekas hancur.
Sepuluh tahun
setelah menyatakan bergabung dengan DI/TII, pada 1963, Kahar Muzakar bahkan
mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan
Islam Indonesia (RPII).
Masih di tahun
1963, Kahar Muzakar mengutus istrinya Susana Corry Van Stenus untuk menemui
Presiden Soekarno di Jakarta. Saat itu Corry membawa sepucuk surat dari Kahar untuk Soekarno berisi pernyataan Kahar bahwa ia
bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan republik dengan dua syarat. Pertama,
Soekarno membubarkan PKI. Kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai
asas negara. Namun, Soekarno tidak memenuhi permintaan tersebut.
Pemberontakan
Kahar terus berlanjut. Sampai akhirnya Kahar Muzakkar dinyatakan berhasil
ditembak mati oleh Kopral II Ili Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi,
di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 3 Februari 1965, bertepatan
dengan Idul Fitri.
Namun ada juga
yang mengatakan bahwa, sesaat setelah Kahar dinyatakan berhasil ditangkap,
Kolonel Jusuf segera menuju lokasi. Kemudian Jusuf dan Kahar masuk hutan. Di
dalam hutan itulah Jusuf melepas Kahar, dan membiarkan bekas atasannya itu
menghilang.
Yang pasti,
menurut penuturan Ili Sadeli kepada Pikiran Rakyat edisi 05 April 2003, tak
berapa lama setelah ia meyakini berhasil menembak mati Kahar, sebuah helikopter
dikirim untuk menjemput mayat Kahar. Saat itu Sadeli ikut mengawal mayat itu
hingga ke Makassar. Bahkan, di atas
helikopter, dia sempat berfoto dengan Jenazah Kahar.
Sejak sampai di Makassar, Sadeli tak tahu lagi kelanjutan jenazah Kahar
dibawa. Ia hanya hanya mendengar kabar mayat Kahar Muzakkar dibawa pihak lain
yang tidak dikenalinya. Sejak itulah jenazah Kahar seperti hilang, tak jelas
dimana makamnya.
Misteri itu
ternyata berlanjut. Ketika pada awal 1999 muncul sesosok
tua yang mengaku-aku sebagai Kahar Muzakar. Nama sosok tua tersebut adalah
Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah. Syamsuri ini
sehari-hari dikenal sebagai Imam Besar Majelis An Nadzir (Pondok Pesantren An
Nadzir), Dumai.
Wajahnya saat itu
(1999) terlihat ‘cukup muda’ untuk pria kelahiran 1921 (merujuk kelahiran Kahar
Muzakar pada 24 Maret 1921). Namun para pengikutnya, seperti Hamzah dan Qahir
yakin betul sosok tersebut benar-benar Kahar Muzakar, ketika pada saat
bersamaan sebagian masyarakat meragukan sosok bernama Syamsuri itu adalah Kahar
Muzakar.
Menurut
kabar, Syamsuri yang mengaku Kahar ini meninggal dunia pada tanggal 05 Agustus
2006, dalam perjalanan menuju RS Persahabatan, Jakarta. Jenazah Syamsuri akhirnya dimakamkan
di Dumai. Kala itu disebutkan usia
Syamsuri saat meninggal adalah 83 tahun. Sedangkan kalau benar ia Kahar Muzakar
yang lahir 1921, maka seharusnya usia Syamsuri 85 tahun. Memang beda tipis.
Yang jelas,
berbeda dengan dua perwira militer ‘pemberontak’ sebelumnya, akhir perjalanan
Kahar Muzakar selain berbalut misteri juga tidak happy ending. Ahmad
Husein dan Ventje Sumual, tidak membawa-bawa agama dalam aksi pemberontakannya.
Ahmad Husein adalah Muslim, sedangkan Ventje Sumual
Protestan. Bahkan mereka bersedia kembali ke pangkuan RI. Sedangkan
Kahar Muzakar selain terus melawan juga membawa-bawa Islam, bahkan sebelum
akhirnya tertembak ia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah di Republik
Persatuan Islam, bukan NII lagi.
Apakah Kahar
Muzakar seorang pemberontak atau mujahid Islam? Hanya Allah yang tahu. Yang
pasti, Kahar bukan seorang ulama Islam yang punya otoritas keilmuan (keulamaan)
untuk hal-hal yang diperjuangkannya. Kahar adalah perwira militer pejuang
kemerdekaan yang kecewa dengan pemerintah pusat. Apalagi, ia juga pernah
menjadi anggota PMC (Penjelidik Militer Chusus), salah satu institusi intelejen
pada masa awal kemerdekaan.
Kalau
Kahar Muzakar ingin tetap dihormati sebagai pejuang kemerdekaan, itu sah-sah
saja. Lha wong Soekarno yang pernah ‘akrab’ dengan komunis (dan
komunis pernah melakukan percobaan kudeta) saja diberi gelar pahlawan nasional
(10 November 2012). Namun, kalau Kahar Muzakar ingin dikenang sebagai
pemberontak, janganlah dikaitkan dengan Islam, apalagi dilabeli Islam
Fundamentalis segala. Itu hanya akan menyakiti umat Islam.
Selain menyakiti,
juga akan membebani secara sosiopsikologis kepada umat Islam di Indonesia ini.
Karena, kemungkinan besar gerakan separatis Kahar Muzakar saat itu merupakan
bentuk infiltrasi intelijen asing (negara-negara Barat) yang khawatir dengan
kedekatan Soekarno pada komunisme (Soviet terutama). Masalahnya, Kahar
membawa-bawa Islam, dan gagal.
(tede/nahimunkar.com)