Hanin Mazaya
Ternyata sejarah menyimpan
bukti-bukti bahwa madzhab Syi’ah –yang ada hari ini– bukanlah madzhab yang
dianut oleh Nabi dan Ahlul Bait. Apa
saja bukti-bukti itu? Silahkan baca selengkapnya…
Ulama Syi’ah selalu membuat
klaim bahwa madzhab mereka adalah warisan dari keluarga Nabi. Kita banyak
mendengar klaim seperti ini di mana-mana, khususnya ditujukan bagi muslim yang
awam. Awam di sini bukan sekedar awam dalam artian tidak berpendidikan atau
tidak terpelajar, tetapi awam dalam pemahaman Islam, termasuk kalangan awam
yang saya maksud adalah kalangan intelektual yang berpendidikan tinggi hingga
menyelesaikan jenjang pasca sarjana, barangkali juga diberi gelar profesor. Tetapi
dalam masalah pemahaman agama sangat awam, bahkan banyak dari pemilik gelar
–satu gelar ataupun lebih– yang belum dapat membaca Al-Qur’an dengan benar.
Banyak orang awam terpesona
oleh cerita-cerita yang enak didengar tentang madzhab Ahlul Bait, begitu juga
cerita tentang penderitaan Ahlul Bait dan cerita-cerita lainnya. Mereka
terpengaruh oleh cerita-cerita Syi’ah tanpa bisa melacak asal usul cerita-cerita
itu, tanpa bisa memilah apakah cerita itu benar adanya atau hanya sekedar
dongeng tanpa ada faktanya. Di satu sisi kita kasihan melihat orang-orang awam
yang tertipu, tetapi di sisi lain kita bisa memaklumi bahwa orang awam tidak
dapat melacak asal usul periwayatan sebuah cerita. Karena untuk melacak
kebenaran sebuah cerita bukan hal yang mudah bagi orang awam, begitu juga
memanipulasi cerita tidak mudah dilakukan oleh orang awam.
Tetapi jika kita melihat lagi
sejarah dengan teliti, kita akan menemukan peristiwa-peristiwa yang
bertentangan dengan banyak klaim yang dibuat oleh Syi’ah. Hingga akhirnya kita
bertanya-tanya tentang kebenaran klaim Syi’ah. Dan yang lebih mengherankan lagi,
Syi’ah tetap saja tidak bergeming dan tetap bersikeras memegang teguh klaimnya
yang telah dibantah oleh sejarah. Yang disebut klaim bisa jadi hanya kesimpulan
dari beberapa fakta yang bisa saja keliru, namun mestinya jika klaim itu
bertabrakan dengan satu bukti nyata dan sejarah yang benar-benar terjadi, mestinya
mereka yang mencari kebenaran akan meninjau kembali pemikiran sebelumnya yang
keliru.
Tetapi berbeda bagi ulama
Syi’ah, karena ada beberapa ulama Syi’ah berusaha menutupi peristiwa-peristiwa
yang bertentangan dengan madzhab Syi’ah, atau seperti kata Abbas Al-Qummi: “Dapat
melemahkan akidah orang banyak, yang bisa kita temukan dalam kitab Ma’rifatul
Imam, karya Sayyid Muhammad Husein Al Huseini:
“Temanku –Ayatullah Sayyid
Shadruddin Al-Jaza’iri– menceritakan; Pada suatu hari dia berada di rumah
Ayatullah Sayyid Muhsin Al-Amin Al-Amili di Syam, kebetulan Tsiqatul
Muhadditsin Abbas Al-Qummi juga ada di sana. Lalu terjadilah dialog antara
Abbas Al-Qummi dan Muhsin Al-Amin. Abbas Al-Qummi bertanya kepada Muhsin Al-Amin:
“Mengapa anda menyebutkan baiat imam Ali Zainal Abidin kepada Yazid bin
Muawiyah, –semoga dia dan ayahnya dikutuk dan masuk neraka– dalam kitab A’yanu
As-Syi’ah?” Muhsin Al-Amin menjawab: “Kitab A’yanu As-Syi’ah adalah kitab
sejarah, karena telah terbukti dalam sejarah bahwa ketika Muslim bin Uqbah
menyerang kota
Madinah, membunuh dan merampok serta memperbolehkan kehormatan selama tiga hari
atas perintah Yazid, melakukan kejahatan yang tidak mampu ditulis oleh pena, imam
As-Sajjad telah berbaiat pada Yazid karena kepentingan mendesak, dan karena
taqiyah untuk menjaga diri dan bani Hasyim. Baiat ini adalah seperti baiat Ali
pada Abu Bakar setelah enam bulan dari wafatnya Nabi, setelah syahidnya Fatimah.”
Abbas Al-Qummi mengatakan: “Tidak
boleh menyebutkan kejadian ini meskipun benar terjadi, karena dapat melemahkan
akidah orang banyak, dan kita harus selalu menyebutkan kejadian yang tidak
betentangan dengan akidah orang banyak.”
Muhsin Al-Amin menjawab: “Saya
tidak tahu, mana kejadian sejarah yang ada manfaat di dalamnya dan mana yang
tidak ada manfaatnya, hendaknya anda mengingatkan saya pada kejadian yang tidak
ada manfaatnya, saya tidak akan menuliskannya.”
Selain berusaha “menghapus”
peristiwa itu dari buku-buku Syi’ah, ulama Syi’ah juga menebarkan keraguan
seputar peristiwa-peristiwa yang tidak sejalan dengan kepentingan Syi’ah dan
“melemahkan akidah orang”, seperti Ali Al-Milani yang mencoba meragukan
peristiwa Abu Bakar diperintahkan oleh Nabi untuk menjadi imam shalat. Dia
mencoba menguji peristiwa itu melalui metode penelitian hadits ala Syi’ah. Namun
itu tidak banyak berguna karena peristiwa itu tercantum dalam kitab Shahih
Bukhari, yang dianggap shahih oleh kaum muslimin. Jika peristiwa itu diragukan,
maka sudah semestinya peristiwa lainnya yang tercantum dalam Shahih Bukhari
juga ikut diragukan, seperti peristiwa Saqifah, dan peristiwa Nabi yang
menyerahkan bendera perang kepada Ali pada perang Khaibar. Juga hadits tentang
kedudukan Nabi Muhammad dan Ali yang dinyatakan bagai Nabi Musa dan Nabi Harun.
Akhirnya orang awam banyak
yang tidak mengetahui –atau meragukan– peristiwa-peristiwa penting yang
bertentangan dengan kepentingan penyebaran Syi’ah, hingga akhirnya peristiwa-peristiwa
itu tidak dijadikan data dalam proses menarik kesimpulan. Dan akhirnya
kesimpulan itu bisa jadi benar secara urutan logika, tetapi karena ada data
yang tidak diikutkan –atau premis yang tidak valid– maka kesimpulannya menjadi
keliru.
Sejarah keluarga Nabi
Pada makalah singkat ini kami
akan membuktikan kepada pembaca, seputar sejarah keluarga Nabi yang disepakati oleh para sejarawan baik
Sunni maupun Syi’ah, yang akan membuktikan bahwa para Ahlul Bait tidak pernah
menganut ajaran yang dianut dan diyakini oleh kaum Syi’ah hari ini.
Seluruh sejarawan baik dari
pihak Syi’ah maupun Sunni mengakui bahwa Ahlul Bait Nabi tinggal bermukim di kota Madinah, di tengah-tengah penganut madzhab
Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagian Khalifah yang berkuasa menginginkan mereka
agar pindah ke kota lain, tetapi mereka tetap
ingin tinggal di kota
Madinah.
Meskipun Musa Al-Kazhim
akhirnya pindah ke Iraq atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid, tinggal
sebagai tamu dinasti Abbasiyah hingga meninggal dunia di Baghdad pada tahun 183
hijriyah, dan dikubur di Baghdad, hari ini daerah di sekitar kuburnya disebut
dengan Kazhimiyah, karena kuburannya ada di sana.
Begitu pula Ali Ar-Ridha
dipanggil oleh Al-Ma’mun untuk dijadikan putra mahkota yang akan menggantikan
jabatannya sebagai khalifah, akhirnya Ali pergi ke Khurasan dan meninggal dunia
pada tahun 203 Hijriyah, dan dimakamkan di kota Masyhad.
Bagitu juga Ali Al-Hadi
meninggalkan kota Madinah, tetapi tidak menuju kufah dan malah tinggal di
Samarra’, karena memenuhi panggilan Khalifah Al-Mutawakkil, dan meninggal dunia
pada tahun 254 hijriyah, meninggalkan dua orang anak yang bernama Hasan dan
Ja’far. Hasan menjadi imam kesebelas bagi Syi’ah sementara Ja’far dijuluki oleh
Syi’ah dengan julukan Ja’far Al-Kadzab (si pendusta) karena dia menyangkal
keberadaan anak Hasan Al-Askari yang diyakini keberadaannya oleh Syi’ah, yang
mana dengan itu dia membongkar kepalsuan ajaran Syi’ah. Dengan ini bisa
dipahami bahwa keberadaan para imam Ahlul Bait di luar kota Madinah adalah dalam waktu yang sangat
singkat, dan semua itu di luar keinginan mereka sendiri, karena memenuhi
panggilan khalifah yang berkuasa saat itu.
Di sini muncul beberapa
pertanyaan yang logis alias masuk akal tentang madzhab yang dianut oleh
keluarga Nabi nan suci. Bukan hanya pertanyaan, tapi bukti-bukti nyata bagi
mereka yang mempergunakan akal sehatnya untuk berpikir, yang tidak dapat
dibantah oleh Syi’ah baik di masa lalu atau saat ini (jika ada pembaca yang
dapat membantah saya persilahkan, tapi saya tidak menjanjikan imbalan):
Di antara bukti-bukti yang
menunjukkan adanya pemalsuan sejarah bahwa para imam adalah bermadzhab Syi’ah:
Ali berada di bawah ketaatan
para khulafa Rasyidin yang menjabat khalifah sebelumnya, jika memang madzhab
Ali berbeda dengan para khalifah sebelumnya –seperti yang diklaim oleh Syi’ah–
sudah pasti Ali akan keluar dari Madinah yang penduduknya tidak mau berbaiat
kepadanya, dan pergi ke negeri Islam lainnya, apalagi negeri yang belum lama
masuk dalam Islam seperti Iraq dan Persia, yang mana penduduk negeri itu baru
masuk Islam dan haus akan kebenaran, jika memang Ali benar-benar dihalangi
untuk menduduki jabatan yang menjadi haknya pasti mereka akan menolongnya, tetapi
yang terjadi adalah Ali tidak keluar dari Madinah, baru keluar dari Madinah
setelah dibaiat menjadi khalifah.
Begitu juga peristiwa
perdamaian antara Hasan dan Muawiyah, sudah semestinya Hasan tidak menyerahkan
jabatan imamah kepada Muawiyah, jika memang imamah adalah jabatan yang sama
seperti kenabian –seperti yang diyakini Syi’ah, lihat dalam kitab Ashlu Syi’ah
wa Ushuluha juga kitab Aqaidul Imamiyah–, sudah semestinya Hasan berjuang
sampai tetes darah terakhir, apalagi ribuan tentara siap untuk mendukungnya
dalam menumpas Muawiyah. Bukannya menumpas Muawiyah, Hasan malah menyerahkan
jabatan yang menjadi amanat ilahi –sebagaimana kenabian– kepada musuh yang
telah memerangi ayahnya.
Para imam setelah imam Ali
tidak pernah memberontak kepada khalifah yang adil, kecuali imam Husein yang
syahid di Karbala, meskipun demikian beliau memberontak karena kezhaliman Yazid,
bukan karena Husein yang menginginkan untuk menjadi imam, meskipun dia adalah
orang yang paling berhak menjadi khalifah saat itu.
Maka kita simak saat Zaid bin
Ali berdialog dengan Muhammad Al-Baqir mengenai apakah untuk menjadi seorang
imam disyaratkan untuk memberontak, sedangkan Zaid meyakini hal itu, yaitu
untuk menjadi imam seseorang harus memberontak pada khalifah. Muhammad Al-Baqir
membantah hal itu dengan menyatakan jika syarat yang ditetapkan oleh Zaid benar
maka ayah mereka berdua “Ali bin Husain” bukanlah imam karena dia tidak
memberontak kepada Yazid dan tidak mengajak orang lain untuk memberontak. Peristiwa
baiat Ali bin Husein terhadap Yazid disebutkan oleh Muhsin Al-Amin dalam
A’yanus Syi’ah.
Juga bagaimana para keluarga
Nabi tetap tinggal di tengah-tengah Ahlus Sunnah jika memang mereka bermadzhab
Syi’ah –seperti klaim Syi’ah selama ini–, mengapa mereka tidak tinggal di
wilayah yang banyak terdapat orang yang mencintai mereka dari golongan Rafidhah
dan Ghulat seperti di Kufah maupun Khurasan, apalagi saat mereka tinggal di
Madinah mereka tidak luput dari pengawasan Bani Abbasiyah yang saat itu
menguasai pemerintahan. Berbeda ketika mereka menyebar di negeri lain.
Semua Ahlul Bait yang
memberontak kepada khalifah tidak ada yang bermadzhab Syi’ah Rafidhah, mereka
memberontak karena alasan politik, bukan karena alasan madzhab, sedangkan Ahlul
Bait yang berhasil mendirikan negara tidak ada dari mereka yang menerapkan
madzhab Syi’ah, seperti:
Ahlul Bait yang bermadzhab
Sunni, dan berhasil mendirikan negara adalah:
Idris bin Hasan bin Hasan bin
Ali bin Abi Thalib, pendiri dinasti Adarisah di Maghrib, bahkan Idris bin Hasan
adalah penyebab utama dari menyebarnya madzhab maliki di Maroko, semua itu
karena imam Malik tidak mengakui keabsahan baiat Abu Ja’far Al-Manshur yang
telah berbaiat sebelumnya kepada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal
dengan nama An-Nafsu Az-Zakiyyah, maka dia berpendapat bahwa Abu Ja’far masih
terikat baiat dengan Muhammad bin Hasan, imam Malik disiksa karena pendapatnya
itu, dan dia tidak menarik ucapannya.
Baiat kepada Muhammad dilakukan
secara rahasia, di antara yang berbaiat adalah saudara-saudaranya, ayahnya, Abu
Ja’far Al-Manshur, Abul Abbas dan Ja’far As-Shadiq yang dianggap oleh Syi’ah
sebagai imam ke enam, juga banyak tokoh Ahlul Bait lainnya.
Asyraf Makkah yang merupakan
keturunan Imam Husein, yang memerintah Makkah beberapa abad yang lalu.
Begitu juga Asyraf Madinah
yang merupakan keturunan Hasan, yang memerintah kota Madinah.
Begitu juga Ahlul Bait yang
bermadzhab Zaidi, walaupun mereka bermadzhab Zaidi tapi mereka tidak terpengaruh
oleh ajaran Rafidhah, mereka hanya menganggap Ali lebih utama dibanding Abu
Bakar dan Umar, mereka juga mensyaratkan bahwa yang lebih mulia dan utama harus
menjabat khalifah, namun mereka juga mencintai seluruh sahabat Nabi, yang dalam
sejarah dikenal dengan istilah Syi’ah sebagai sikap politik, bukan sebagai
madzhab.
Ahlul Bait penganut madzhab
Zaidi yang berhasil mendirikan negara dan tidak terpengaruh madzhab Rafidhah:
Muhammad bin Yusuf Al-Ukhaidhir,
dia adalah Muhammad bin Yusuf bin Ibrahim bin Musa Al-Jaun bin Hasan Al-Mutsanna
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri pemerintahan Ukhaidhiri di wilayah
Yamamah, begitu juga anak keturunannya, Muhammad adalah orang yang datang dari
Hijaz ke Yamamah dan mendirikan negara di sana pada tahun 252 H/866 M.
Begitu juga Husein bin Qasim
Ar-Rassi, pendiri pemerintahan Alawiyah di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, pada
tahun 280 H. Ayahnya yang bernama Qasim Ar-Rassi adalah penulis kitab “Bantahan
terhadap kaum Rafidhah”, yang telah dicetak.
An-Nashir lil Haqq Al-Hasan
yang dijuluki Al-Athrusy karena pendengarannya kurang baik, pendiri negara
Alawiyyin di Dailam, yang mengajarkan Islam kepada penduduk Jil dan Dailam yang
kekuasaannya mencapai Thabaristan, berhasil membebaskan Amil dan masuk ke kota
Jalus pada tahun 301 H, tetap memimpin pemerintahan hingga wafat tahun 304 H. dia
meninggalkan warisan ilmiyah yang banyak, yang tidak memuat ajaran Rafidhah
sedikitpun, di antaranya adalah kitab Al-Bisat, yang ditahqiq oleh Abdul Karim
Jadban, diterbitkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Dar Turats di Sha’dah.
Sedangkan banyak dari Ahlul
Bait sendiri yang termasuk ulama Ahlus Sunnah, di antaranya adalah kebanyakan
dari 11 imam, –karena imam yang ke-12 sebenarnya tidak pernah ada– seperti
Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-Shadiq, Musa
Al-Kazhim dan Ahlul Bait lainnya. Begitu juga Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Abdullah bin Yazid bin
Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Muththalibi As-Syafi’i, beliau adalah
imam salah satu dari empat madzhab dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang
memiliki hubungan erat dengan keluarga Nabi, karena dia adalah keturunan
Muthalib bin Abdi Manaf, sama seperti Nabi
Muhammad yang juga keturunan Abdi Manaf, sedangkan keluarga Muththalib
juga termasuk Ahlul Bait yang tidak boleh menerima sedekah, seperti pendapat
jumhur ulama.
Al-Qur’an memuat kisah Nabi
Isa yang menolak klaim kaum Nasrani terhadap dirinya, menyatakan bahwa Nabi Isa
bukanlah Tuhan yang layak disembah. Kita perlu meneliti lebih dalam sebelum
meyakini sesuatu.
Jika madzhab Syi’ah bukanlah
madzhab Ahlul Bait seperti diklaim oleh Syi’ah, lalu madzhab siapa?
Sumber : syiahindonesia
http://www.arrahmah.com/read/2011/03/22/11495-bukti-nyata-kepalsuan-madzhab-syiah.html#sthash.q5xskeuh.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik