Jakarta, NU Online
“Buah tidak jauh dari pohonnya.” Demikian pepatah bijak mengatakan. Kelakuan baik dan buruk anak membebek pada orang tuanya. Kuda terbang memang takkan melahirkan kuda lumping, tetapi kuda pacu tak terkalahkan pun masuk di akal. Namun, buaya boleh jadi memperanakkan kadal.
Sedikit-banyaknya tentu jamak. Kalau banyak kebaikan yang ditiru, tentu kita bersyukur. Tetapi kalau terlalu banyak keburukan dicontoh, maka pening akan mendera isi batok kepala tetangga seisi kampung.
Benar-tidaknya pepatah di atas, Wallahu A‘lam. Tetapi sekurang-kurangnya kebenaran itu berlaku bagi mantan Ketua II PBNU (1979) almarhum Mahbub Djunaidi.
Ia seorang kolumnis cap jempol yang menjadi rujukan utama bagi para penulis di Indonesia. Karyanya tersebar di harian Duta Masyarakat, Warta NU, dan sejumlah koran nasional lainnya. “Tulisannya kritis dan berbobot,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Kang Said menyatakan kerinduannya pada Mahbub saat menerima kru NU Online di Kantor PBNU Lantai 3, Jakarta Pusat, Senin (18/3) petang. Kru NU Online yang didampingi dua pendirinya Masduki Baidlowi dan Abd. Mun'im DZ, menyampaikan akan menggelar harlah ke-10. "NU Online harus ada yang seperti Pak Mahbub dong. Ya minimal ditiru istiqomahnya, kalau tidak bisa meniru kualitasnya," pinta Kang Said disambut tertawa kru NU Online.
Mahbub kerap melihat pemerintah di masanya tersasar. Ia cepat-cepat menuntun tangan pemerintah. Seperti membimbing orang buta menyeberang jalan, ia tak ingin pemerintahnya tercinta mendapat celaka akibat disambar pengendara liar atau terjerumus masuk lubang jalan. Baginya, kalau pemerintah salah-salah ambil keputusan maka selain pemerintah, rakyat pun menerima getahnya.
Berhubung orang tuanya (KH Muhammad Djunaidi) bukan tukang pukul, jawara pasar, tukang jagal, atau yang dapat dipersamakan dengan itu, maka Mahbub tidak mewarisi main lempar sekepal batu ke halaman kantor pemerintah.
Ia pun tidak pergi kemana-mana. Ia cukup duduk menghadap meja ketik, lalu merampungkan satu-dua halaman kolom untuk dikirim ke surat kabar. Kolomnya yang “menyentil” menjadi jurus andalannya.
Kalau ada peraturan atau undang-undang yang terselip lecak di saku baju safari pejabat, maka satu judul kolomnya segera tercetak di sebuah harian yang akan diketahui banyak orang. Hal ini dimaksudkan agar pikiran masyarakat dan pemerintah menjadi enteng; enak makan dan gampang tidur.
“Nafas kolomnya selalu pro rakyat. Namun, ungkapan-ungkapannya yang humroris kerap membuat pembaca tertawa tiba-tiba,” tambah Kang Said.
Misalnya terkait tradisi kasak-kusuk anggota parlemen baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru, Mahbub mengungkapkan ketidaksetujuannya dalam majalah Tempo 1975 (5/4), “Maka ada kabinet kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ‘Sedikit bicara, banyak kerja.’ Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat.
Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak-kusuk. Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusan.
Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ‘Sedikit bicara banyak kerja,’ melainkan ‘Banyak bicara banyak kerja.’ ‘Akur,’ kata KH Idham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling.”
Mahbub meyakini perihal setuju-tidak sebagai hak. Kalau setuju, pemerintah perlu dijunjung tinggi seperti tetangga baru pulang naik haji. Kalau tidak setuju, jidat pemerintah tidak harus dijatuhkan palu godam. Menjewer telinga pemerintah pun tidak. Ia menemukan nalar kritis namun humoris dari kebiasaan para kiai berhadapan dengan pemerintah.
Lantaran keturunan baik-baik, jalan memutar yang dipilih Mahbub adalah mengajak pemerintah bicara baik-baik lewat surat kabar. Karena, ia saat itu yakin bahwa pejabat pemerintah merupakan pelanggan setia koran yang dibacanya saban pagi barang semenit sebelum menuju kantor.
Penulis: Alhafiz Kurniawan
“Buah tidak jauh dari pohonnya.” Demikian pepatah bijak mengatakan. Kelakuan baik dan buruk anak membebek pada orang tuanya. Kuda terbang memang takkan melahirkan kuda lumping, tetapi kuda pacu tak terkalahkan pun masuk di akal. Namun, buaya boleh jadi memperanakkan kadal.
Sedikit-banyaknya tentu jamak. Kalau banyak kebaikan yang ditiru, tentu kita bersyukur. Tetapi kalau terlalu banyak keburukan dicontoh, maka pening akan mendera isi batok kepala tetangga seisi kampung.
Benar-tidaknya pepatah di atas, Wallahu A‘lam. Tetapi sekurang-kurangnya kebenaran itu berlaku bagi mantan Ketua II PBNU (1979) almarhum Mahbub Djunaidi.
Ia seorang kolumnis cap jempol yang menjadi rujukan utama bagi para penulis di Indonesia. Karyanya tersebar di harian Duta Masyarakat, Warta NU, dan sejumlah koran nasional lainnya. “Tulisannya kritis dan berbobot,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Kang Said menyatakan kerinduannya pada Mahbub saat menerima kru NU Online di Kantor PBNU Lantai 3, Jakarta Pusat, Senin (18/3) petang. Kru NU Online yang didampingi dua pendirinya Masduki Baidlowi dan Abd. Mun'im DZ, menyampaikan akan menggelar harlah ke-10. "NU Online harus ada yang seperti Pak Mahbub dong. Ya minimal ditiru istiqomahnya, kalau tidak bisa meniru kualitasnya," pinta Kang Said disambut tertawa kru NU Online.
Mahbub kerap melihat pemerintah di masanya tersasar. Ia cepat-cepat menuntun tangan pemerintah. Seperti membimbing orang buta menyeberang jalan, ia tak ingin pemerintahnya tercinta mendapat celaka akibat disambar pengendara liar atau terjerumus masuk lubang jalan. Baginya, kalau pemerintah salah-salah ambil keputusan maka selain pemerintah, rakyat pun menerima getahnya.
Berhubung orang tuanya (KH Muhammad Djunaidi) bukan tukang pukul, jawara pasar, tukang jagal, atau yang dapat dipersamakan dengan itu, maka Mahbub tidak mewarisi main lempar sekepal batu ke halaman kantor pemerintah.
Ia pun tidak pergi kemana-mana. Ia cukup duduk menghadap meja ketik, lalu merampungkan satu-dua halaman kolom untuk dikirim ke surat kabar. Kolomnya yang “menyentil” menjadi jurus andalannya.
Kalau ada peraturan atau undang-undang yang terselip lecak di saku baju safari pejabat, maka satu judul kolomnya segera tercetak di sebuah harian yang akan diketahui banyak orang. Hal ini dimaksudkan agar pikiran masyarakat dan pemerintah menjadi enteng; enak makan dan gampang tidur.
“Nafas kolomnya selalu pro rakyat. Namun, ungkapan-ungkapannya yang humroris kerap membuat pembaca tertawa tiba-tiba,” tambah Kang Said.
Misalnya terkait tradisi kasak-kusuk anggota parlemen baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru, Mahbub mengungkapkan ketidaksetujuannya dalam majalah Tempo 1975 (5/4), “Maka ada kabinet kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ‘Sedikit bicara, banyak kerja.’ Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat.
Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak-kusuk. Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusan.
Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ‘Sedikit bicara banyak kerja,’ melainkan ‘Banyak bicara banyak kerja.’ ‘Akur,’ kata KH Idham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling.”
Mahbub meyakini perihal setuju-tidak sebagai hak. Kalau setuju, pemerintah perlu dijunjung tinggi seperti tetangga baru pulang naik haji. Kalau tidak setuju, jidat pemerintah tidak harus dijatuhkan palu godam. Menjewer telinga pemerintah pun tidak. Ia menemukan nalar kritis namun humoris dari kebiasaan para kiai berhadapan dengan pemerintah.
Lantaran keturunan baik-baik, jalan memutar yang dipilih Mahbub adalah mengajak pemerintah bicara baik-baik lewat surat kabar. Karena, ia saat itu yakin bahwa pejabat pemerintah merupakan pelanggan setia koran yang dibacanya saban pagi barang semenit sebelum menuju kantor.
Penulis: Alhafiz Kurniawan
Komentarku ( Mahrus ali):
Setahu saya sosok Mahbub Junaidi itu
bukan pejuang Islam, tapi nasionalis. Dia juga pernah menjadi ketua PWI , juga
menulis di majalah Tempo. Dia sektarian yang fanatik kepada golongannya bukan
kepada Islam
yang anti golongan. Dia dihormati dikalangan golongannya
dan terhina dimata ahli hadis dan Al Quran. Dia terancam dengan ayat bahaya fanatikus firqah sbb:
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
dengan kembali bertaubat kepada-Nya
dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah,
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا
شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ(32)
yaitu orang-orang yang memecah belah
agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Ayat tsb menyatakan orang yang
bergolong – golong apalagi tokohnya adalah syirik.
patut dicontoh bagi jurnalis2 masa kini.....
BalasHapus