MUNGKIN
benar, mengikuti laporan berita terbaru, bahwa rezim Bashar al-Assad di
Damaskus, semakin hari semakin putus asa dalam menghadapi serangan gencar para
pejuang Suriah yang tak pernah henti-hentinya. Tak heran jika Assad jadi gelap
mata, dan siap untuk menggunakan senjata kimia terhadap warga negaranya
sendiri.
Assad sendiri, semua pialang
kekuasaan utama dalam pemerintahannya, dan hampir semua korps perwira militer
negara ini sudah hampir meyakini bahwa perang ini adalah masalah “membunuh atau
dibunuh”.
Para Alawiyah di Suriah
mempunyai para pembela di dunia Arab, baik karena sifat ortodoks agama Syiah,
yang telah direvolusikan menjadi Revolusi Islam (harap dicatat—ini hanya
sekadar nama saja!), sejak akhir 1960-an. Secara luas, Damaskus saat ini
dilihat sebagai pion kepentingan Iran di wilayah tersebut. Namun,
kejatuhan rezim Assad—yang masih jauh dari jantungnya—tidak akan banyak membuat
dunia Arab berkabung, di luar Teheran dan di kalangan Hizbullah.
Apakah jatuhnya Assad akan
dirayakan oleh banyak orang di Barat? Ini masih jadi pertanyaan besar.
Para
ekspatriat yang ada di Suriah sudah lama menyingkir. Orang-orang yang pada
akhirnya akan mengambil alih kekuasaan di Suriah adalah pria bersenjata yang
menguasai jalan-jalan negara, desa, dan kota-kota. Pembantaian yang mereka
alami membuat mereka tidak berbicara dengan suara; mereka hanya ingin
melindungi keluarga mereka dan masyarakat dari serangan tentara-tentara Assads.
Bagaimana dengan keberadaan
Al-Qaidah di bumi Suriah? Momok jihadis menyusup oposisi Suriah dan kemudian
berkuasa di Damaskus adalah gagasan yang sangat konyol, bahkan terlalu
mengada-ada. Suriah tidak perlu lagi jihadis asing dan Islam radikal.
Banyak dari para pejuang saat
ini berjuang melawan rezim Suriah mengasah keterampilan gerilya mereka di Irak,
belajar teknik pertempuran di kota
juga di Irak dari 2003 hingga 2007. Mereka yang tidak terbunuh di Irak memilih
kembali ke Suriah (titik masuk terbesar bagi jihadis yang memasuki Irak selama
perang itu), dan mengangkat senjata melawan rezim mereka sendiri. Kemampuan
mereka untuk membunuh sejumlah besar pasukan rezim dari awal putaran saat
perang sipil merupakan indikasi keterampilan mereka sudah berjalan 19 bulan
lalu.
Juga setelah 19 tahun
perjuangan, dan mungkin masih akan panjang beberapa waktu lagi, para pejuang
Mujahidin Suriah, dengan penderitaan dan kepentingan yang sama, sudah mencapai
satu tekad besar. Damaskus, seusai Assad tumbang, bisa jadi tempat pertama
Islam ditegakkan dengan bendera perang—bukan melalui parlemen dan undang-undang
legislatif. Tidak heran jika Amerika sudah merapat, dan mengirim sebagian induk
kapal perangnya di sekitar Suriah; siapa tahu Shubuh lah yang akan berdebum di
Suriah esok hari. [sa/islampos]
(nahimunkar.com)
Komentarku ( Mahrus ali):
Perjuangan untuk berdirinya
negara sekuler juga perlu pengorbanan yang maksimal, apalagi untuk negara
Islam. Berjuanglah terus, jangan berhenti lalu bertopang dagu atau meninggakan
jihad untuk sekedar memenuhi kebutuhan perut. Pada hal jihad bila ditinggalkan,
sudah tentu kaum muslimin akan di kalahkan oleh non muslim. Kaum muslimin akan
di gagahi oleh non muslim sebagaimana nasib yang kita alami. Jihad harus
ditegakkan, dan masa bodoh terhadap perjuangan harus di buang. Hidup mulia atau
mati sahid, kadang menang kadang kalah itu sunnatullah, namun siapa yang
sungguh berjuang untuk tegaknya ajaran Allah akan mendapat pertolonganNya. Allah
berfirman:
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(41)
Berangkatlah kamu baik dalam
keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik