Kalau ada pedagang yang
jualan racun namun disebutnya obat untuk menyembuhkan penyakit, maka akan
disebut penipu yang membahayakan.
Bagaimana kalau yang jualan
tipuan itu seorang intelektual bahkan penyusun kurikulum perguruan tinggi Islam
se-Indonesia? Tentu sangat membahayakan. Harun Nasution sendiri mengaku, ketika
mengubah kurikulum itu dari Ahlus Sunnah diubah jadi (aliran sesat) Mu’tazilah,
banyak rektor IAIN yang tua-tua tidak setuju, namun kalah pengaruh dengan Muki
Ali yang mantan Menteri Agama. (Dua-duanya sudah di alam kubur).
Dalam pepatah, sekali lancung
ujian, seumur hidup orang tak percaya. Sekali menipu, maka seumur hidup orang
tak percaya.
Seharusnya Ummat Islam juga
sejak lama tidak percaya kepada Harun Nasution dan kurikulum yang dibuatnya. Namun
karena yang berkuasa selama ini bukan Ummat Islam yang menjunjung tinggi Islam,
namun sebaliknya bahkan menghadapi Islam, maka penipu itu lah yang dipakai
karyanya hingga kini. Dan itulah sejatinya pembelokan Islam, dari Tauhid ke
liberal kemudian pluralism agama dan multikulturalisme alias kemusyrikan baru. Memang
arahnya adalah pemurtadan.
Pantas saja di antara orang
yang dijagokan oleh Harun Nasution yakni Azra yang dua kali ( ?) jadi rektor
IAIN (kini UIN) Jakarta dan masih memimpin sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
begitu lobanya dalam membela pemalsu Islam yaitu Ahmadiyah, dan juga membela
budaya dari orang kafir apa yang disebut valentin’s day. Bukankah itu
menjerumuskan Ummat Islam ke arah murtad ?
Masih tidak percaya juga? Baca
buku Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN.
Dan berikut ini diantara
bukti tipuan Harun Nasution dalam membelokkan arah Islam.
***
Antara Harun Nasution, Attaturk dan
Sekularisme
Jum’at, 08 Februari 2013
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
EKSPOINEN neo-Mu’tazilah, Harun Nasution (1919-1998)
menyatakan bahwa Mustafa Kemal Attaturk merupakan orang penting dalam pembaruan
dalam tubuh Turki Utsmani. Dalam bahasa Harun, “Dalam suasana inilah muncul
Mustafa Kemal, seorang pemimpin Turki baru, yang menyelematkan Kerajaan Usmani
dari kehancuran total dan bangsa Turki dari penjajahan Eropa. Ialah pencipta
Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar Attaturk (Bapak Turki).” (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hlm. 142).
Jadi, menurut Harun, Attaturk adalah
pemimpin Turki baru, yang menyelamatkan Kerajaan Usmani sehingga Turki berubah
menjadi “modern”. Dengan prestasi pembaruan itu lah Mustafa Kemal menjadi “Bapa
Turki” Modern (Attaturk). Padahal, dalam pembaruannya – seperti juga diakui
oleh Harun – Attaturk dipengaruhi oleh ide golongan “nasionalis” dan ide
golongan Barat. Harun juga menambahkan dengan jujur, “Setelah perjuangan
kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru dimulai, yaitu: perjuangan
untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban Barat akan
diambil bukan hanya sebahagian-sebahagian, tetapi dalam keseluruhannya.” (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 147).
Ini mirip dengan pemikir sekular asal Mesir,
Thaha Husein, yang menyatakan, “Kita harus mengadopsi peradaban Barat manis dan
getirnya.” (Ṭāhā Ḥusayn, Mustaqbal al-Tsaqāfah fī
Miṣr)
Sejatinya pembaruan yang diajukan oleh
Attaturk, sebagaimana dicatat juga oleh Harun ketika mengutip pandangan Ahmed
Agouglu dalam The Development of Secularism, adalah “sekularisasi”.
Dalam satu pidatonya, Attaturk menyampaikan
bahwa di zaman yang dalamnya ilmu-pengetahuan membawa perubahan terus-menerus
bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi tua lagi usang, tidak
akan dapat mempertahankan wujudnya.
Masyarakat Turki harus dirobah menjadi
masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus
dihancurkan. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 148). Menyimpulkan
ide pembaruan Attatur, Harun mencatat, “Westernisme, sekularisasi, dan
nasionalisme itulah yang menjadi dasar pemikiran pembaharuan Mustafa Kemal.” (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 149).
Statemen Attaturk yang gandrung kepada
Barat dan peradabannya dapat dilihat dalam pernyataanya berikut:
“There are a variety of countries, but
there is only one civilization. In order for a nation to advance, it is
necessary that it join this civilization. If our bodies are in the East, our
mentality is oriented toward the West. We want to modernize our country. All
our efforts are directed toward the building of a modern, therefore Western, state
in Turkey.
What nation is there that desires to become a part of civilization, but does
not tend toward the West?” (Lihat, Alev Ҫinar,
Modernity, Islam, and Secularism in Turkey:
Bodies, Places, and Time(Minneapolis-London: University of Minnesota
Press, 2005), hlm. 5).
Namun ternyata, ide pembaruan ala Barat
yang dipaksakan oleh Attaturk itulah sejatinya awal-mula bencana yang menimpa
Turki Usmani. Sampai akhirnya Attaturk punya andil dalam menghapuskan
Kekhalifan Turki Utsmani tahun 1924. Dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Umat
Islam, Hamka menulis bahwa lafadz azan pun diubah oleh Attatur, dari Allahu
Akbar menjadi Allah Buyuk. Karena, Harun juga mencatat, Mustafa Kemal melihat
bahwa jabatan khalifah juga harus dihapuskan dan soal ini dibicarakan oleh
Majlis Nasional Agung di bulan Februari 1924. Perdebatan berjalan sengit, tetapi
akhirnya pada tanggal 3 Maret 1924, suara di Majlis memutuskan penghapusan
jabatan Khalifah. Khalifah Abdul Majid diperintahkan meninggalkan Turki, dan ia
bersama keluarganya pergi ke Swiss. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.
151).
Dan jangan lupa, Majlis Nasional ini adalah
bentukan Mustafa Kemal bersama teman-temannya tahun 1920. Melalui gerakannya
ini sekutu akhirnya mengakui bahwa Attatur dan kawan-kawan dianggap sebagai
penguasa de facto dan de jure di Turki. Dan pada tanggal 23 Juli 1923 ditanda-tangani
Perjanjian Lausanue, dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan
internasional. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 147).
Dalam posisi ini sejatinya Harun Nasution
keliru besar jika menganggap westernisasi dan sekularisasi rakyat Turki yang
dilakukan oleh Attaturk sebagai “pembaruan”. Jelas ini adalah “pembaratan” (westernisasi).
Karena Harun sendiri mencatat, “Betul syariat telah dihapus pemakaiannya dan
pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah.” (Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, hlm. 152).
Begitu pun, menurut Harun, Turki belum
sekular “kāffah”. Anehnya, Harun malah mencatat demikian, “Mustafa Kemal
sebagai rasionalis dan pengagum Barat tidak menentang Islam. Baginya Islam
adalah agama yang rasional dan perlu bagi umat manusia. Tetapi agama yang
rasional ini telah dirusak oleh tangan manusia. Oleh sebab itu itu ia melihat
perlunya diadakan pembaharuan dalam soal agama untuk disesuaikan dengan bumi
Turki.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Bentuknya pembaruan yang diusulkan oleh
Attatur adalah: Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, khutbah Jum’at
dilakukan dalam bahasa Turki, bahkan tahun 1931 azan dalam bahasa Turki resmi
diberlakukan. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Benar-benar tragis. Begitu pun ia harus
tetap dianggap sebagai “pembaruan”. Bagaimana mungkin Harun menyimpulkan
Attatur tidak menentang Islam. Justru Attaturk adalah antek-Barat yang takut
terhadap syariat Islam, makanya dihapuskan dari bumi Turki.
Buktinya, gelombang sekularisme dan
sekularisasi yang ditentang oleh golongan Islam dipatahkan oleh Attaturk. (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153). Ini bukti jelas bahwa Attaturk
membenci Islam dan syariatnya. Tapi lucunya, dengan lugunya Harun Nasution
tetap membela Attaturk sembari menulis dengan entengnya, “Sekularisme Mustafa
Kemal tidak menghilangkan agama Islam dari masyarakat Turki, dan Mustafa Kemal
memang tidak bermaksud demikian. Yang ia maksud adalah menghilangkan kekuasaan
agama dari bidang politik dan pemerintahan.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, hlm. 154).
Di sini tampak jelas bahwa bukan hanya
Attaturk yang setuju dengan “sekularisme” dan “sekularisasi” tetapi juga Harun
Nasution. Ide ini memang yang dikagumi dan dihayati oleh kaum liberal-sekular, faṣl al-dīn ‘an al-dawlah (memisahkan agama dari negara). Satu ide Barat-Kristen
yang sekular: yang memisahkan hak raja dan kaisar. Padahal, seperti kata
Mohamad Natsir, Islam itu adalah ideologi.
Dengan tegas Natsir menyatakan, “Menegakkan
Islam tidak dapat dengan membiarkan pembinaan masyarakat dan bernegara dengan
cara paham lain. Oleh sebab itu, dalam masa Revolusi, umat Islam di Indonesia
bukan saja dijiwai oleh aspirasi nasional melainkan juga aspirasi Islam.”
Pandangan Natsir itu dapat disimak dalam tulisannya “Islam sebagai Ideologie” (Jakarta:
Penyiaran Ilmu, 1951), hlm. 62).
Di mana menurutnya Islam sebagai risalah
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. telah memberikan pedoman untuk
menyelenggarakan pemerintahan agar negara kuat dan masyarakatnya sejahtera. Namun,
Natsir menolak sistem kependetaan, sebagaimana pernah diterapkan oleh negara-negara
Barat di Abad Pertengahan (di zaman Montesquieu). Dalam “Sumbangan Islam bagi
Perkembangan Dunia” Natsir menyebutkan:
“Orang Islam tidak memerlukan kependetaan. Dalam
Islam ada ahli-ahli agama yang disebut ulama. Mereka itu adalah guru dari
pelbagai cabang ilmu agama…Fukaha dan guru-guru hukum Islam…Tetapi mereka
bukanlah pendeta…Mereka tidak lebih hanyalah Imam, pemimpin shalat…Imam itu
hanya suatu jabatan berdasar keperluan-keperluan praktis untuk penyelenggaraan
shalat, tidak suatu jabatan resmi.” (Lihat, H. Mas’oed Abidin, Gagasan dan
Gerak Dakwah Natsir (Yogyakarta: Gre
Publishing, 2012), hlm. 98-99).
Maka wajar jika Attaturk begitu benci
kepada Islam berikut syariatnya. Karena ide pembaruannya adalah “westernisasi”
dan “sekularisasi”. Ini jelas ide Barat. Dan Barat dipastikan anti-Islam. Salah
satunya dianut dimana-mana oleh negara jajahan Barat, yakni “nasionalisme”. Namun
harus disyukuri bahwa spirit Islam kembali kepada tubuh Turki yang mati-suri
itu. Bediuzzaman Said Nursi disinyalir memiliki pengaruh yang tidak kecil
terhadap keberagamaan negara Turki yang menggeliat cepat hari ini. Ia bahkan
diposisikan vis-à-vis sekularisme Kemalism. (Lihat, Umuat Azak, Islam and
Secularism in Turkey: Kemalism,
Religion and the Nation State (London-New York: I.B. Tauris, 2010).
Selain Nursi tentunya masih ada pemikir
lain yang coba mengembalikan Islam ke Turki, termasuk dari sisi pemerintahan
yang akhir-akhir ini banyak menyentak dunia Barat. Istilahnya: azan dan jilbab
kembali ke Turki. Memang begitulah. Pembaruan tak akan harmonis dengan
sekularisme. Dan pembaruan tidak serta-merta dimaknai sebagai tajdīd. Konon
lagi dikaitkan dengan westerniasi, sekularisasi, dan liberalisasi. Karena
konsep tajdīd dalam Islam bukan merusak Islam, apalagi membenci dan memberangusnya.
Tajdīd adalah kebutuhan umat, karena di dalamnya ada proses pengembalian umat
kepada Islam, agar meraka kembali menghayati Islam. Dan tajdīd tidak membenci
al-Qur’an, karena pelakunya adalah manusia-manusia yang dekat dengan waḥyu. Makanya tajdīd diakui Nabi.
Di sini tampak bahwa ide-ide pembaruan hari
ini asalnya adalah Barat, karena isinya adalah: sekularisme. Dan sekularisme
tidak lahir dari Islam, jelas tidak akan pernah diakui apalagi ditiru dan
digugu. Seperti kata Olivier Roy, Secularism Confronts Islam (New York: Columbia
University Press, 1893). Wallāhu al-hādī ilā sabīl al-rasyād!
Penulis adalah guru ngaji di Pondok
Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan,
Sumatera Utara dan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Sumatera Utara
Red: Cholis Akbar/hidayatullah.com
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik