Jakarta,
NU Online
Para pelaku tasawuf yang telah meniti tiga maqom (tingkatan) sebelumnya, yaitu tawakal, ridlo, dan syukur akan menjalani maqom-maqom selanjutnya, yaitu mahabbah, tuma’ninah, dan ma’rifat.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, mengurai ketiga maqom tersebut, pada pengajian mingguan yang digelar di PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01).
Mahabbah adalah maqom cinta kepada Allah. Kalau sudah cinta kepada-Nya, kepada apapun cinta, mencintai segalanya. Orang yang menapaki maqom tersebut, yang cantik, yang jelek, yang pintar, yang bodoh, yang kaya, yang miskin; semua dicintainya.
“Karena semuanya yang ada itu adalah tanda-tanda keagungan Allah,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kalau sudah mahabbah, akan tumbuh tuma’ninah, atau full happy, enjoy. Hati orang yang menempuh jalan tuma’ninah adalah tenang.
“Tuma’ninah bukan di rumah, mobil, uang, tapi dalam hati,” tambahnya.
Setelah maqom tuma’ninah, muncul maqom terakhir, ma’rifat. Kiai yang akrab disapa Kang Said ini menjelaskan, maqom ini dengan pengalaman Imam Ghazali sepulang menyepi di masjid Damaskus. Setelah keluar dari masjid tersebut, ia tak bisa mengatakan pengalamannya.
“Ilmu ma’rifah tak bisa dituliskan. Tak bisa diceritakan. Tidak bisa diajarkan dengan kata-kata,” ujar kiai yang pernah nyantri di Pesantren Kempek, Lirboyo dan Krapyak tersebut.
Orang yang sedang mengalami maqom ma’rifat, tahu betul bahwa segala sesuatu dari Allah, untuk Allah, karena Allah, bersama Allah. Tanpa itu sedetik saja, dunia hancur.
Kiai yang juga doktor jebolan University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah/Filsafat Islam menegaskan, ketiga maqom tersebut dinamakan tajalli (manifestasi). Allah sudah menjelma dalam segala keadannya.
Dampak spirutual temporalnya adalah al-uns, harmonis. Amal salehnya, bukan karena lita’abud (ibadah), bukan litaqorub (ingin dekat dengan Allah), melainkan litahaquq (mencari hakikat).
Maqom-maqom tersebut adalah versi ringkasnya. Para ahli tasawuf berbeda rincian maqomnya. Misalnya, menurut Syekh Abdul Qodir Jilani, terdapat 40 maqom tasawuf. Sementara Imam Ghazali berpendapat ada 14 tingkatan.
Para pelaku tasawuf yang telah meniti tiga maqom (tingkatan) sebelumnya, yaitu tawakal, ridlo, dan syukur akan menjalani maqom-maqom selanjutnya, yaitu mahabbah, tuma’ninah, dan ma’rifat.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, mengurai ketiga maqom tersebut, pada pengajian mingguan yang digelar di PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01).
Mahabbah adalah maqom cinta kepada Allah. Kalau sudah cinta kepada-Nya, kepada apapun cinta, mencintai segalanya. Orang yang menapaki maqom tersebut, yang cantik, yang jelek, yang pintar, yang bodoh, yang kaya, yang miskin; semua dicintainya.
“Karena semuanya yang ada itu adalah tanda-tanda keagungan Allah,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kalau sudah mahabbah, akan tumbuh tuma’ninah, atau full happy, enjoy. Hati orang yang menempuh jalan tuma’ninah adalah tenang.
“Tuma’ninah bukan di rumah, mobil, uang, tapi dalam hati,” tambahnya.
Setelah maqom tuma’ninah, muncul maqom terakhir, ma’rifat. Kiai yang akrab disapa Kang Said ini menjelaskan, maqom ini dengan pengalaman Imam Ghazali sepulang menyepi di masjid Damaskus. Setelah keluar dari masjid tersebut, ia tak bisa mengatakan pengalamannya.
“Ilmu ma’rifah tak bisa dituliskan. Tak bisa diceritakan. Tidak bisa diajarkan dengan kata-kata,” ujar kiai yang pernah nyantri di Pesantren Kempek, Lirboyo dan Krapyak tersebut.
Orang yang sedang mengalami maqom ma’rifat, tahu betul bahwa segala sesuatu dari Allah, untuk Allah, karena Allah, bersama Allah. Tanpa itu sedetik saja, dunia hancur.
Kiai yang juga doktor jebolan University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah/Filsafat Islam menegaskan, ketiga maqom tersebut dinamakan tajalli (manifestasi). Allah sudah menjelma dalam segala keadannya.
Dampak spirutual temporalnya adalah al-uns, harmonis. Amal salehnya, bukan karena lita’abud (ibadah), bukan litaqorub (ingin dekat dengan Allah), melainkan litahaquq (mencari hakikat).
Maqom-maqom tersebut adalah versi ringkasnya. Para ahli tasawuf berbeda rincian maqomnya. Misalnya, menurut Syekh Abdul Qodir Jilani, terdapat 40 maqom tasawuf. Sementara Imam Ghazali berpendapat ada 14 tingkatan.
Penulis: Abdullah Alawi
Komentarku ( Mahrus ali):
Nasehatku, tidak usah belajar tasawuf tapi
belajarlah al quran dan hadis saja.
Sebab setahu saya tokoh – tokoh tasawuf banyak yang keluar dari jalan lurus
masuk ke jalan yang bengkong.
Bapak DR. Ali Hasan Abdul
Qadir berkata:
"Tasawuf prinsipnya tidak
populer, bahkan diidentikan sebagai penyimpangan dan zindiq".
Komentarku ( Mahrus ali ):
Jadi saat itu tasawuf di
anggap menyimpang bukan ilmu yang lurus
dan orang masih pikir – pikir mau mengutarakan ilmu tasawuf bukan ilmu hadis dan Quran di kalangan masarakat, karena ada anggapan
miring seperti itu. Jadi kalau di tinjau
dari realita seperti itu bukan dari hayalan, layak sekali bila masa ini
bertambah maju, bukan bertambah baik, tapi tambah jauh dari ajaran Islam.
Saat itu, ilmu hadis dan al
Quran masih di gunakan hujjah bukan tasawwuf oleh masarakatnya sehingga ajaran tasawuf yang bersebrangan dengan
keduanya harus di sembunyikan bukan di sebar luaskan. Bila di lontarkan akan
membikin kacau belau
dan masarakat akan terkejut dengannya
lalu tidak bisa menerimanya. Bahkan
di katakan kafir, zindiq dll. Anehnya masarakat sekarang bila ada orang
yang menyalahkan ajaran tasawuf yang jelas keliru, malah di anggap wahaby, luar
line dll. Dan yang membenarkan tasawuf di anggap ahlus sunnah. Itu penilaian
terbalik, bukan penilaian yang tepat.
Jadi kekeliruan itu menurut masarakat bukan
karena tidak punya dalil, tapi terserah budaya dan lingkungannya. Bila
lingkungannya kristen, maka ajaran yang
berbau Islam di lontarkan di lingkungan tersebut akan di lemparkan dan tidak di
terima di kelirukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik