Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali di majalal al furqan menyatakan lagi:
Ibroh KelimaSebagaimana yang telah lalu.bahwa sholat/sujud sah dilakukan di belahan bumi manapun, maka-menurut pendapat yang kuat- tayammum dibolehkan dari semua .jenis belahan bumi. tidak harus bertayammum dari tanah asli yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan tayam mum dari dinding (lihat Sifat salat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- 2/784.
Oleh karenanya, ibnu DaQiq al- "Id rahimahullah mengatakan "Barangsiapa yang mensyaratkan tayammum harus dari tanah asli yang berdebu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkan keumuman hadits di atas (yang mencakup semua belahan bumi), atau kalau tidak demikian dia terpaksa harus mengatakan bahwa (keumuman) hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan sholat (dan tayanimum) di manapun be- rada dan bagaimanapun keadaan tempatnya (tidak harus di tanah asli yang berdebu), dan hal ini dikuat- kan oleh sabda Rosululloh shallahu alaihi wasallam
'Barang siapa yang mennjunpai waktu sholot moka di situlah tempat sholatnya, dan di situlah alat bersucinya (tayammumnya apabila tidak menjumpai air/" (Lihat Ashl Shifat Shalat
Nabi 2/78S. dan al-Muhalla 2/158- 161.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Mari kita kaji dulu hadis tayammum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan tembok sbb:
Dalam riwayat ad-Daruquthniy (663), “Sehingga Beliau meletakkan tangannya di atas dinding”. Fat-h al-Bariy: I/ 442.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Menurut riwayat Ibnu Abbas :
Seolah dalam hadis Abu Juhaim itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam cukup menghadap tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangannya, tanpa meletakkan tangan di tembok.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis itu tiada keterangan tentang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan ke tembok. Beda sekali dengan riwayat Ibnu Umar yang ada tambahan sbb:
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis tsb tiada keterangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok. Jadi terjadi kontradiksi, bukan kata sepakat, saling menyalahkan, tidak saling mendukung. Pada hal, semuanya sahih. Mana yang dipakai. Dan mana yang harus di tanggalkan. Benar menurut sanadnya di nilai sahih oleh sebagian ulama, tapi redaksi hadisnya yang terjadi kacau makna dan arti antara satu riwayat dengan lainnya.
Sisi kelemahan dalam hadis Abu Juhaim adalah tafarrud pada Abd Rahman bin Hurmuz. Lihat takhrij sbb.
Hukum hanya seorang perawi yang meriwayatkan hadis.( tafarrud )
1. Ulama hadis dahulu tidak suka atau benci terhadap riwayat gharib ( nyeleneh )
Ulama hadis dahulu benci terhadap terhadap riwayat – riwayat yang gharib ( nyeleneh ) dan hadis yang di riwayatkan oleh seorang perawi , lalu di anggap sebagai hadis yang terjelek sebagaimana di katakan oleh Imam Malik rahimahullah: Ilmu terjelek adalah yang gharib dan ilmu yang terbaik adalah yang tampak yang di riwayatkan oleh manusia. ( banyak ). 1
.
Bahkan imam Ahmad bin Hambal menjadikan istilah gharib sebagai tanda kekeliruan. Sungguh Muhammad bin Sahal bin Askar mengutip dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan: Bila kamu mendengar ahli hadis berkata: Ini hadis gharib , atau faidah , ketahuilah ia adalah kekeliruan, atau hadis masuk dalam hadis lain, atau kekeliruan dari ahli hadis atau orang yang menceritakannya atau ia tidak punya sanad sekalipun diriwayatkan oleh Sufyan atau Syu`bah.
Hadis yang menyatakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok itu bertentangan dengan ayat sbb:
Hadis tsb menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok. Pada hal perintahnya dalam al Quran adalah bertayammum dengan tanah yang bersih atau debu sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafii sbb:
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan untuk mengikuti al quran, tidak boleh menyelisihinya sebagaimana ayat :
"Katakanlah! Aku tidak mengatakan kepada kamu bahawasanya aku memiliki perbendaharaan Allah, aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tak mengatakan bahawa aku adalah malaikat, aku hanya mengatakan apa yang telah diwahyukan kepadaku". Al-'An'am, 6:50.
Bila benar, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan tuntunan tayammum dengan tembok, mesti banyak sahabat yang menjalankannya. Realitanya tidak ada nukilan bahwa sahabat bertayammum dengan tembok, apalagi untuk shalat lima waktu atau shalat sunat sepengetahuan kami. Sebab, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah panutan mereka, bukan sekedar teman atau guru yang ada disekeliling kita yang biasanya tidak menjadi panutan tapi kadang perlu di ingatkan perilakunya. Beliau adalah panutan para sahabat, juga generasi setelah mereka sampai kepada kita. Kita ingat firmanNya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Tiada sahabat yang menjalankan tayammum dengan tembok lalu menjalankan shalat . Karena itu , jangan sampai bertayammum dengan tembok lalu menjalankan salat. Anda akan keliru bila melakukannya. Saya pernah melihat orang bertayammum dengan kaca di kereta api, dinding mobil, kadang bangku di bus dll. Seluruhnya itu mengambil dalil dari hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok yang redaksinya masih kacau itu.
Ikut Allah lebih baik dari pada ikut perawi hadis. Ikut ayat lebih di dahulukan dari pada hadis:
Fakhruddin al Munadhir berkata:
Bila hadis mutawatir bertentangan dengan hadis Ahad, maka kita dahulukan hadis Mutawatir . Pandangan ini menurut seluruh Ushuliyiin - termasuk juga bila hadis bertentangan dengan ayat, maka kita dahulukan ayat dan kita tolak hadis bila sulit/ mustahil di ambil jalan tengah. Sungguh imam Malik mendahulukan perbuatan penduduk Medinah ketika konflik atau kontradiksi dengan hadis seorang perawi . Sebab prilaku penduduk Medinah dlm abad – abad yang utama termasuk masih naqli ( kutipan dari para sahabat/ boleh dikatakan masih orsinil ) yang boleh di katakan mencapai derajat mutawatir.
http://www.eltwhed.com/vb/showthread.php?2021
Kalau al quran jelas merupakan pedoman manusia yang tidak boleh dilepaskan. Sedang hadis kadang sahih, kadang lemah yang tidak bisa di buat pegangan, tapi harus dilepaskan. Allah berfirman:
Maunya Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali itu menjadikan hadis tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan tayammum di dinding untuk landasan boleh melakukan salat di keramik, atau sajadah. Ini namanya pemerkosaan terhadap dalil bukan mengarahkan pengertian hadis kepada sesuatu yang wajar. Hadis tsb tiada kaitannya dengan shalat di tanah, jauh sekali, tidak mirip sama sekali. Apalagi hadis itu kacau redaksinya alias lemah sekali.
Anda menyatakan :
Oleh karenanya, ibnu DaQiq al- "Id rahimahullah mengatakan "Barangsiapa yang mensyaratkan tayammum
harus dari tanah asli yang berdebu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkan keu-
muman hadits di atas (yang mencakup semua belahan bumi), atau kalau tidak demikian dia terpaksa
• harus mengatakan bahwa (keumuman) hadits tersebut menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan sholat (dan tayanimum) di manapun be-
rada dan bagaimanapun keadaan tempatnya (tidak harus di tanah asli yang berdebu),
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maaf, tiada refrensi arabnya atau kitabnya hingga sulit di lacak kebenarannya. Barang kali ada tambahan atau pengurangan terjemahan yang akan menyesatkan dan tidak membimbing umat ke jalan yang benar.
Anda mengutip hadis ini:
'Barang siapa yang mennjunpai waktu sholot moka di situlah tempat sholatnya, dan di situlah alat bersucinya (tayammumnya apabila tidak menjumpai air/" (Lihat Ashl Shifat Shalat
Nabi 2/78S. dan al-Muhalla 2/158- 161.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maaf hadis tsb jangan digunakan untuk dalil memperbolehkan salat di sajadah atau keramik. Tapi ikutilah tata cara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat menjalankan shalat wajib di tanah langsung tanpa keramik atau sajadah.
Kalau menjalankan salat di sajadah atau keramik maka menyalahi tuntunan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat.
Ibroh KelimaSebagaimana yang telah lalu.bahwa sholat/sujud sah dilakukan di belahan bumi manapun, maka-menurut pendapat yang kuat- tayammum dibolehkan dari semua .jenis belahan bumi. tidak harus bertayammum dari tanah asli yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan tayam mum dari dinding (lihat Sifat salat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- 2/784.
Oleh karenanya, ibnu DaQiq al- "Id rahimahullah mengatakan "Barangsiapa yang mensyaratkan tayammum harus dari tanah asli yang berdebu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkan keumuman hadits di atas (yang mencakup semua belahan bumi), atau kalau tidak demikian dia terpaksa harus mengatakan bahwa (keumuman) hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan sholat (dan tayanimum) di manapun be- rada dan bagaimanapun keadaan tempatnya (tidak harus di tanah asli yang berdebu), dan hal ini dikuat- kan oleh sabda Rosululloh shallahu alaihi wasallam
'Barang siapa yang mennjunpai waktu sholot moka di situlah tempat sholatnya, dan di situlah alat bersucinya (tayammumnya apabila tidak menjumpai air/" (Lihat Ashl Shifat Shalat
Nabi 2/78S. dan al-Muhalla 2/158- 161.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Mari kita kaji dulu hadis tayammum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan tembok sbb:
عن ابن عباس قَالَ: أَقْبَلْتُ أَنَا وَ عَبْدُ اللهِ بْنُ يَسَارٍ مَوْلَى مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى أَبِي جُهَيْمٍ بْنِ اْلحَارِثِ بْنِ الصُّمَّةِ اْلأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُو اْلجُهَيْمِ: أَقْبَلَ النَّبِيُّ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى اْلجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
Dari Ibnu Abbas berkata, “Aku dan Abdullah bin Yasar maulanya Maimunah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah datang sehingga masuk menemuiAbu Juhaim bin al-Harits bin ash-Shummah al-Anshoriy. Berkata Abu al-Juhaim, “Nabi Shallallahu alahi wa sallam pernah datang dari arah bi’r (sumur) Jamal, (Sebuah tempat dekat dengan kota Madinah [al-Wajiz halaman 73].) lalu seorang lelaki menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya, namun Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak membalasnya sehingga beliau mendatangi dinding/ tembok. Lalu Beliau mengusap wajah dan kedua tangannya. Kemudian Beliau membalas ucapan salam kepadanya”. [HR al-Bukhoriy: 337, Muslim: 369 secara ta’liq, Abu Dawud: 329, an-Nasa’iy: I/ 165 dan ad-Daruquthniy: 662. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. Shahih Sunan Abu Dawud: 319 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 300Dalam riwayat ad-Daruquthniy (663), “Sehingga Beliau meletakkan tangannya di atas dinding”. Fat-h al-Bariy: I/ 442.
عن ابن عمر قَالَ: أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنَ اْلغَائِطِ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ عِنْدَ بِئْرِ جَمَلٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى اْلحائِطِ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى اْلحَائِطِ ثُمَّ مَسَحَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى الرَّجُلِ السَّلَامَ
Dari Ibnu Umar berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah datang dari berak lalu berjumpa dengan seorang lelaki di dekat bi’r Jamal. Lelaki itu lalu mengucapkan salam kepadanya namun Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak membalas ucapan salam tersebut, hingga Beliau datang menghadap tembok dan meletakkan tangannya pada tembok tersebut. Beliau kemudian mengusap wajah dan kedua tangannya. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam membalas salam atas lelaki tersebut. [HR Abu Dawud: 331. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. Shahih Sunan Abu Dawud: 320Komentarku ( Mahrus ali ):
Menurut riwayat Ibnu Abbas :
حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى اْلجِدَارِ
sehingga beliau mendatangi dinding/ tembok.Seolah dalam hadis Abu Juhaim itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam cukup menghadap tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangannya, tanpa meletakkan tangan di tembok.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis itu tiada keterangan tentang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan ke tembok. Beda sekali dengan riwayat Ibnu Umar yang ada tambahan sbb:
أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنَ اْلغَائِطِ
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah datang dari berak
حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى اْلحائِطِ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى اْلحَائِطِ
hingga Beliau datang menghadap tembok dan meletakkan tangannya pada tembok tersebut.
صحيح ابن خزيمة ط 3 (1/ 80)
3 - أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ [13 - ب]، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ؛ وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، نَا أَبُو أَحْمَدَ -يَعْنِي الزُّبَيْرِيَّ-، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ:
"أَنَّ رَجُلًا مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَهُوَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ".
………………, dari Nafi` dari Ibnu Umar ra , sesungguhnya seorang lelaki lewat dimuka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang kencing, lalu membaca salam kepada beliau. Namun beliau tidak menjawab salamnya.Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis tsb tiada keterangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok. Jadi terjadi kontradiksi, bukan kata sepakat, saling menyalahkan, tidak saling mendukung. Pada hal, semuanya sahih. Mana yang dipakai. Dan mana yang harus di tanggalkan. Benar menurut sanadnya di nilai sahih oleh sebagian ulama, tapi redaksi hadisnya yang terjadi kacau makna dan arti antara satu riwayat dengan lainnya.
Sisi kelemahan dalam hadis Abu Juhaim adalah tafarrud pada Abd Rahman bin Hurmuz. Lihat takhrij sbb.
المسند الجامع (31/ 29)
أبو جهيم بن الحارث الأنصاري
عَنْ عُمَيْرٍ ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللهِ بْنُ يَسَارٍ ، مَوْلَى مَيْمُونَةَ ، زَوْجِ النَّبِيِّ ( ، حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى أَبِي جُهَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الأَنْصَارِيِّ ، فَقَالَ أَبُو الْجُهَيْمِ :
)) أَقْبَلَ النَّبِيُّ ( مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ ( ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ ، فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ.((. خ
أخرجه أحمد 4/169(17682) قال : حدَّثنا حسن بن موسى ، حدَّثنا ابن لهيعة. وفي (24277) قال : حدَّثنا يعقوب ، حدَّثنا أبي ، عن محمد بن إسحاق. و((البُخاري)) 1/92(337) قال : حدَّثنا يحيى بن بكير ، قال : حدَّثنا الليث ، عن جعفر بن ربيعة. و((مسلم))1/194(751) تعليقًا قال : وروى الليث بن سعد ، عن جعفر بن ربيعة. و((أبو داود))329 قال : حدَّثنا عبد الملك بن شعيب بن الليث ، حدَّثنا أبي ، عن جَديِّ ، عن جعفربن ربيعة. و((النَّسائي))1/165 ، وفي ((الكبرى))303 قال : أخبرنا الربيع بن سليمان ، قال : حدَّثنا شعيب بن الليث ، عن أبيه ، عن جعفر بن ربيعة. و((ابن خزيمة))274 قال : حدَّثنا الربيع بن سليمان المرادي ، أخبرنا شعيب ، يعني ابن الليث ، عن الليث ، عن جعفر بن ربيعة.
ثلاثتهم (عبد الله بن لَهِيعة ، وابن إسحاق ، وجعفر بن ربيعة) عن الرحمان بن هرمز الأعرج ، عن عمير ، مولى ابن عباس ، فذكره.
Intinya, para sahabat secara keseluruhan tiada yang tahu tentang hadis itu kecuali perawi hadis itu, bahkan di kalangan tabiin juga tiada yang paham hadis itu sampai mereka meninggal dunia kecuali satu orang yaitu Abd Rahman bin Hurmuz tingkat tiga dari tabiin pertengahan , wafat tahun 117 di Iskandariyah. Hadis sedemikian ini menurut pakar – pakar hadis dahulu termasuk hadis lemah. Lihat perkatan mereka sbb:
- حكم تفرد الراوي بالحديث:
1- كراهية المتقدمين لرواية الغريب:
كان المتقدمون من علماء الحديث يكرهون رواية الغرائب وما تفرد به الرواة، ويعدونه من شَرِّ الحديث، كما قال الإمام مالك رحمه الله: "شَرُّ العلم الغريبُ، وخيرُ العلم الظاهرُ الذي قد رواه الناس" 1،
Hukum hanya seorang perawi yang meriwayatkan hadis.( tafarrud )
1. Ulama hadis dahulu tidak suka atau benci terhadap riwayat gharib ( nyeleneh )
Ulama hadis dahulu benci terhadap terhadap riwayat – riwayat yang gharib ( nyeleneh ) dan hadis yang di riwayatkan oleh seorang perawi , lalu di anggap sebagai hadis yang terjelek sebagaimana di katakan oleh Imam Malik rahimahullah: Ilmu terjelek adalah yang gharib dan ilmu yang terbaik adalah yang tampak yang di riwayatkan oleh manusia. ( banyak ). 1
وقال سليمان الأعمش: »كانوا يكرهون غريبَ الحديث«2،
Sulaiman al a`masy berkata : Mereka tidak suka dengan hadis yang gharib 2.
بل إن الإمام أحمد بن حنبل جعل مصطلح الغريب دليلا على الوهم، فقد نقل عنه محمد بن سهل بن عسكر أنه قال: « إذا سمعت أصحاب الحديث يقولون: «هذا الحديث غريب» أو« فائدة» فاعلم أنه خطأ، أو دخل حديث في حديث، أو خطأ من المحدث، أو ليس له إسناد، وإن كان قد رواه شعبة وسفيان»3
.
Bahkan imam Ahmad bin Hambal menjadikan istilah gharib sebagai tanda kekeliruan. Sungguh Muhammad bin Sahal bin Askar mengutip dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan: Bila kamu mendengar ahli hadis berkata: Ini hadis gharib , atau faidah , ketahuilah ia adalah kekeliruan, atau hadis masuk dalam hadis lain, atau kekeliruan dari ahli hadis atau orang yang menceritakannya atau ia tidak punya sanad sekalipun diriwayatkan oleh Sufyan atau Syu`bah.
Hadis yang menyatakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok itu bertentangan dengan ayat sbb:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);. Al Maidah 6Hadis tsb menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok. Pada hal perintahnya dalam al Quran adalah bertayammum dengan tanah yang bersih atau debu sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafii sbb:
وقال الشافعي : الصعيد لا يقع إلا على التراب له غبار.
Sho`id (dalam ayat 6 Maidah ) adalah tanah yang berdebu, tidak boleh makna lainnya.Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan untuk mengikuti al quran, tidak boleh menyelisihinya sebagaimana ayat :
وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ
Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. [1] Yunus 109
قُلْ لآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآ اَقُوْلُ لَكُمْ اِنِّيْ مَلَكٌ اِنْ اَتَّبِعُ مَا يُوْحَى اِلَيَّ.
"Katakanlah! Aku tidak mengatakan kepada kamu bahawasanya aku memiliki perbendaharaan Allah, aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tak mengatakan bahawa aku adalah malaikat, aku hanya mengatakan apa yang telah diwahyukan kepadaku". Al-'An'am, 6:50.
Bila benar, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan tuntunan tayammum dengan tembok, mesti banyak sahabat yang menjalankannya. Realitanya tidak ada nukilan bahwa sahabat bertayammum dengan tembok, apalagi untuk shalat lima waktu atau shalat sunat sepengetahuan kami. Sebab, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah panutan mereka, bukan sekedar teman atau guru yang ada disekeliling kita yang biasanya tidak menjadi panutan tapi kadang perlu di ingatkan perilakunya. Beliau adalah panutan para sahabat, juga generasi setelah mereka sampai kepada kita. Kita ingat firmanNya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Tiada sahabat yang menjalankan tayammum dengan tembok lalu menjalankan shalat . Karena itu , jangan sampai bertayammum dengan tembok lalu menjalankan salat. Anda akan keliru bila melakukannya. Saya pernah melihat orang bertayammum dengan kaca di kereta api, dinding mobil, kadang bangku di bus dll. Seluruhnya itu mengambil dalil dari hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertayammum dengan tembok yang redaksinya masih kacau itu.
Ikut Allah lebih baik dari pada ikut perawi hadis. Ikut ayat lebih di dahulukan dari pada hadis:
Fakhruddin al Munadhir berkata:
فإذا تعارض متواتر مع آحاد قدمنا المتواتر، وهذا عند جميع الأصوليين.. مما يعني لو ان حديثا تعارض مع آية- قدمنا الآية ورددنا الحديث - إن كان الجمع بينهما مستحيلا-... وقد كان الإمام مالك يقدم عمل اهل المدينة عند التعارض مع حديث الواحد لأن عمل أهل المدينة في القرون المفضلة نقلي يبلغ عنده مبلغ التواتر.
Bila hadis mutawatir bertentangan dengan hadis Ahad, maka kita dahulukan hadis Mutawatir . Pandangan ini menurut seluruh Ushuliyiin - termasuk juga bila hadis bertentangan dengan ayat, maka kita dahulukan ayat dan kita tolak hadis bila sulit/ mustahil di ambil jalan tengah. Sungguh imam Malik mendahulukan perbuatan penduduk Medinah ketika konflik atau kontradiksi dengan hadis seorang perawi . Sebab prilaku penduduk Medinah dlm abad – abad yang utama termasuk masih naqli ( kutipan dari para sahabat/ boleh dikatakan masih orsinil ) yang boleh di katakan mencapai derajat mutawatir.
http://www.eltwhed.com/vb/showthread.php?2021
Kalau al quran jelas merupakan pedoman manusia yang tidak boleh dilepaskan. Sedang hadis kadang sahih, kadang lemah yang tidak bisa di buat pegangan, tapi harus dilepaskan. Allah berfirman:
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. Al jatsiyah 20
وَإِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Annamel 77Maunya Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali itu menjadikan hadis tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan tayammum di dinding untuk landasan boleh melakukan salat di keramik, atau sajadah. Ini namanya pemerkosaan terhadap dalil bukan mengarahkan pengertian hadis kepada sesuatu yang wajar. Hadis tsb tiada kaitannya dengan shalat di tanah, jauh sekali, tidak mirip sama sekali. Apalagi hadis itu kacau redaksinya alias lemah sekali.
Anda menyatakan :
Oleh karenanya, ibnu DaQiq al- "Id rahimahullah mengatakan "Barangsiapa yang mensyaratkan tayammum
harus dari tanah asli yang berdebu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkan keu-
muman hadits di atas (yang mencakup semua belahan bumi), atau kalau tidak demikian dia terpaksa
• harus mengatakan bahwa (keumuman) hadits tersebut menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan sholat (dan tayanimum) di manapun be-
rada dan bagaimanapun keadaan tempatnya (tidak harus di tanah asli yang berdebu),
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maaf, tiada refrensi arabnya atau kitabnya hingga sulit di lacak kebenarannya. Barang kali ada tambahan atau pengurangan terjemahan yang akan menyesatkan dan tidak membimbing umat ke jalan yang benar.
Anda mengutip hadis ini:
'Barang siapa yang mennjunpai waktu sholot moka di situlah tempat sholatnya, dan di situlah alat bersucinya (tayammumnya apabila tidak menjumpai air/" (Lihat Ashl Shifat Shalat
Nabi 2/78S. dan al-Muhalla 2/158- 161.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maaf hadis tsb jangan digunakan untuk dalil memperbolehkan salat di sajadah atau keramik. Tapi ikutilah tata cara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat menjalankan shalat wajib di tanah langsung tanpa keramik atau sajadah.
Kalau menjalankan salat di sajadah atau keramik maka menyalahi tuntunan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik