Sumber : http://blogseotest.blogspot.com/2012/01/cara-memasang-artikel-terkait-bergambar.html#ixzz2HNYeE9JU

Pages

Blogroll

Minggu, 20 Januari 2013

Problema Medis dan Solusi Syar’i



 


Islam tidak pernah mengekang dan mempersulit penganutnya dalam menjalani hidup, termasuk dalam hal beribadah ketika mereka sakit. Kiranya kesimpulan itulah yang ingin disampaikan buku Fiqih Medis yang disusun oleh Tim Pendamping Manajemen Islami Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari, Surabaya, ini. Buku setebal 213 halaman ini mengupas tuntas perihal ibadah orang sakit (baca: pasien) yang layak menjadi tuntunan atau panduan bagi mereka, dengan sorotan medis (kedokteran) dan hukum Islam.
Hal itu, karena tidak jarang ditemukan pasien memilih tidak bersuci, shalat, dan sebagainya karena oleh dokter dilarang menyentuh air, tidak bisa mengerjakannya sendiri, dan lain sebagainya. Padahal Islam menyiasati hal itu dengan memberi solusi tayamum, minta bantuan orang lain, dan sebagainya. Islam memberi solusi dengan tidak memberatkan pasien sehingga pengobatan tetap berjalan dan ibadah (kewajiban) juga tidak bolong.

Dalam hal wudhu misalnya, pasien yang secara medis kesulitan ketika hendak berwudhu, baik karena tidak boleh menyentuh air ataupun karena susah melakukannya sendiri, maka Islam memberi keringanan dengan enam ketentuan. Pertama, apabila pasien masih mampu bergerak dan menurut dokter air tidak berdampak negatif untuk proses penyembuhan, maka ia wajib berwudhu sendiri. Kedua, jika pasien sudah tidak mampu bergerak, maka seseorang bisa membantunnya untuk berwudhu. Ketiga, jika menurut dokter air dapat membahayakan atau memperlambat proses penyembuhan, maka sebagai penggantinya bisa bersuci dengan tayamum (hal. 13).

Keempat, jika pada bagian anggota badan yang wajib dibasuh atau diusap dalam wudhu terdapat luka dan tidak memungkinkan dibasuh, maka juga bisa dengan tayamum. Kelima, pasien yang tidak bisa menahan kencing, buang angin, keluar darah dan sebagainya secara terus menerus, maka dia wajib wudhu atau tayamum setelah masuk waktu shalat dan segera melakukannya. Keenam, jika pasien tidak bisa membersihkan badan, pakaian, dan tempat serta tidak ada orang lain yang membantunya, maka ia tetap bisa melakukan shalat dengan keadaan darurat serba najis kerena ia telah terbebas dari tanggungan bersuci. Tapi ia wajib mengulanginya jika sudah sehat (hal. 14).
Tidak cuma tentang bersuci (thaharah), buku ini juga menjelaskan tentang permasalahan medis masa kini, seperti aborsi, amputasi, autopsi, pengawetan jenazah, dan sebagainya.
Perihal amputasi yang secara medis bisa terjadi pada waktu pasien masih hidup dan juga setelah pasien meninggal dunia, secara hukum Islam hal itu di diharamkan jika dilakukan pada saat yang bersangkutan sudah meninggal dunia, kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini dikarenakan ada unsur menyakiti si mayit (hal. 125).
Tentang autopsi yang seringkali dilakukan untuk mendeteksi motif meninggalnya seseorang untuk dijadikan bahan ivestigasi ataupun untuk memperjelas posisi si mayit pada dasarya diharamkan dalam Islam. Namun, menurut imam Syafi’i jika langkah outopsi tersebut karena darurat atau suatu keperluan pembuktian sebuah tindak kriminal yang dituduhkan kepada seorang tertuduh atau semacamnya, maka hal itu diperbolehkan. Bahkan mayit yang sudah dikubur boleh dibongkar karena keperluan outopsi seperti di atas (hal. 131).
Hal ini mengingat tujuan dari outopsi adalah untuk mencapai kebenaran dalam pembuktian di pengadilan, yang harus dengan cara tersebut karena ada tanda-tanda yang mengarah kuat dalam pembuktian hukum melalui outopsi.

Selanjutnya, perihal pengawetan jenazah tidaklah dibenarkan menurut Islam dengan alasan apapun. Karena menurut Islam mayat orang Islam itu wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan kemudian dikubur. Dari sini, maka membiarkan jenazah seorang muslim terlantar atau memusiumkan adalah tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan agama (hal. 130).

Menambah daya tarik dan menjadi nilai tambah buku ini adalah di akhir pembahasan buku ini ditutup dengan sesuatu yang khusus menjawab problema medis aktual, dengan bentuk tanya jawab. Pertanyaan yang terdapat di dalamnya kesemuanya bisa dibilang pertanyaan yang seringkali menjadi prolema masa kini, seperti bagaimana hukum ibu hamil yang meminta hari kelahiran pada waktu tertentu dengan jalan operasi; ketentuan Islam tentang donor darah, dan lain sebagainya.

Terakhir, menjadi nilai tawar buku dalam kredibelitas penyusunnya, buku terbitan Imtiyaz ini disusun dengan berpijak pada kitab-kitab turats sebagai sumber langsung dari warisan ulama’ terdahulu, sehingga keotentikan referensinya (sangat) teruji.
·       Peresensi adalah alumnus PP. Mambaul Ulum Bata-Bata, Madura
Judul: Fiqih Medis
Penulis: Moh. Ali Aziz, dkk.
Penerbit: Imtiyaz, Surabaya
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 213 halaman
ISBN : 978-602-95950-5-5
Peresensi : Abd. Basid
Komentarku ( Mahrus ali):
Kesan saya ketika membaca resensi diatas, buku tsb buku ahli bid`ah bukan buku ahli hadis atau ahli qur`an. Refrensinya dari buku fikih yang banyak pendapatnya bukan dalilnya. Pada hal, agama Islam ini tegak dengan dalil tidak boleh berpendapat di dalamnya. Islam jatuh karena banyak pakar yang berpendapat di dalamnya. Dan berpendapat itu termasuk tasyri` yang di larang. Ingatlah firman Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢١)

21. Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih. (QS As-Syura/42: 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar dengan baik