Brebes, NU Online
Rais ‘Aam Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan prihatin dengan lunturnya rasa terima kasih.
“Akibat tak pandai menghargai jasa pendahulu, tidak berterima kasih, keberkahan tercerabut dari muka bumi,” ungkap Habib saat mengisi Maulid Nabi dalam rangkaian Hari Jadi Ke-335 Kab Brebes di perempatan Saditan Baru Brebes, Rabu (16/1) malam .
Peringatan Maulid Nabi, merupakan upaya menghargai, mencintai pendahulu, Nabi Muhammad SAW. Karena jasa Nabi, terjadi kebangkitan Islam yang telah mengubah dari jaman jahiliyah menuju jaman yang ilmiah.
Jadi sangat aneh, ketika ada sekelompok kaum yang menghina peringatan Maulid Nabi dan bahkan melarangnya. “Kalau sejarah Nabi hendak dihilangkan, bagaimana dengan sejarah Pangeran Diponegoro, sejarah Imam Bonjol, sejarah para Walisongo dan para pejuang bangsa lainnya?” gugat Habib Luthfi.
Jangan sampai kehidupan di Indonesia sampai kehilangan obor. Karena tidak ada pencerahan sejarah. Generasi muda dibutakan dari jasa-jasa pendahulu, yang mengakibatkan tidak pandai berterima kasih.
Habib melukiskan betapa besarnya perjuangan orang tua kita pada awal kemerdekaan. Meski dengan berbagai keterbatasan, rela menyekolahkan kita hingga ke tingkat tinggi. Mengusahakan makanan dan minuman, walaupun orang tua kita menahan kelaparan yang memaksa.
Sekolah sangat sulit, jadi PNS juga dengan jatah beras Cempok, beras Gembalo yang kalau dimasak melar, kalau dimakan cepat kenyang tetapi juga cepat lapar. Sarapan juga dengan bodin. Tetapi dibalik kekurangan itu, orang tua kita sangat hebat.
“Budi pekerti sangat dijunjung tinggi. Persaudaraan kental dan tolong menolong jadi tradisi yang sangat kuat,” paparnya.
Maka jangan sampai kita mengecewakan orang tua kita yang telah memperjuangkan hidup kita lebih baik. Yang telah menyiapkan regenerasi yang lebih berkualitas pada masa kini.
“Kalau sekarang kita berbuat tidak sesuai dengan keinginan orang tua, dengan berbuat kekacauan maka kita telah mengecewakan orang tua kita, sadarlah!” ajak Habib.
Begitupun dengan perjuangan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati yang telah berbuat banyak untuk negeri. Sedangkan kita belum mampu berbuat apa-apa. Ceritakanlah kebaikan-kebaikan mereka dan bila ada yang tidak baik pintakan ampunan kepada Allah SWT. “Jangan lagi-lagi menghujat, menghina sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa!” kata Habib dengan semangat berkobar-kobar.
Penghargaan kepada Bung Karno (pimpinan) waktu dulu sangat tinggi, yang dibuktikan dengan patuhnya rakyat dengan mendengarkan pidato Bung Karno. Sikap apa yang harus diperbuat rakyat mengacu pada isi pidato Bung Karno, menjadi patokan satu komando.Bangsa kita dulu sangat terhormat karena kepatuhan rakyat pada pimpinannya, bukan karena perlengkapan senjata perang yang hebat. “Persatuan dan kesatuan, saling hormat menghormati ternyata lebih kuat dari peluru kendali,” katanya.
Ingatlah sejarah, karena dengan sejarah itu akan bertambah wawasan dan keilmuan kita. “Jangan melupakan sejarah, karena kalau kita lupa sejarah maka akan diombang-ambingkan oleh para pengacau,” ujar Habib mengingatkan.
Tunjukan pada dunia, kata Habib, kalau kita bisa merapatkan barisan, menghargai para pendahulu dengan meneruskan perjuangannya. Rapatkan barisan tidak akan mengecewakan Nabi, orang tua, pejuang, tokoh-tokoh pendahulu, guru-guru kita, sesepuh kita. “Tunjukanlah!” pungkasnya.
Rais ‘Aam Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan prihatin dengan lunturnya rasa terima kasih.
“Akibat tak pandai menghargai jasa pendahulu, tidak berterima kasih, keberkahan tercerabut dari muka bumi,” ungkap Habib saat mengisi Maulid Nabi dalam rangkaian Hari Jadi Ke-335 Kab Brebes di perempatan Saditan Baru Brebes, Rabu (16/1) malam .
Peringatan Maulid Nabi, merupakan upaya menghargai, mencintai pendahulu, Nabi Muhammad SAW. Karena jasa Nabi, terjadi kebangkitan Islam yang telah mengubah dari jaman jahiliyah menuju jaman yang ilmiah.
Jadi sangat aneh, ketika ada sekelompok kaum yang menghina peringatan Maulid Nabi dan bahkan melarangnya. “Kalau sejarah Nabi hendak dihilangkan, bagaimana dengan sejarah Pangeran Diponegoro, sejarah Imam Bonjol, sejarah para Walisongo dan para pejuang bangsa lainnya?” gugat Habib Luthfi.
Jangan sampai kehidupan di Indonesia sampai kehilangan obor. Karena tidak ada pencerahan sejarah. Generasi muda dibutakan dari jasa-jasa pendahulu, yang mengakibatkan tidak pandai berterima kasih.
Habib melukiskan betapa besarnya perjuangan orang tua kita pada awal kemerdekaan. Meski dengan berbagai keterbatasan, rela menyekolahkan kita hingga ke tingkat tinggi. Mengusahakan makanan dan minuman, walaupun orang tua kita menahan kelaparan yang memaksa.
Sekolah sangat sulit, jadi PNS juga dengan jatah beras Cempok, beras Gembalo yang kalau dimasak melar, kalau dimakan cepat kenyang tetapi juga cepat lapar. Sarapan juga dengan bodin. Tetapi dibalik kekurangan itu, orang tua kita sangat hebat.
“Budi pekerti sangat dijunjung tinggi. Persaudaraan kental dan tolong menolong jadi tradisi yang sangat kuat,” paparnya.
Maka jangan sampai kita mengecewakan orang tua kita yang telah memperjuangkan hidup kita lebih baik. Yang telah menyiapkan regenerasi yang lebih berkualitas pada masa kini.
“Kalau sekarang kita berbuat tidak sesuai dengan keinginan orang tua, dengan berbuat kekacauan maka kita telah mengecewakan orang tua kita, sadarlah!” ajak Habib.
Begitupun dengan perjuangan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati yang telah berbuat banyak untuk negeri. Sedangkan kita belum mampu berbuat apa-apa. Ceritakanlah kebaikan-kebaikan mereka dan bila ada yang tidak baik pintakan ampunan kepada Allah SWT. “Jangan lagi-lagi menghujat, menghina sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa!” kata Habib dengan semangat berkobar-kobar.
Penghargaan kepada Bung Karno (pimpinan) waktu dulu sangat tinggi, yang dibuktikan dengan patuhnya rakyat dengan mendengarkan pidato Bung Karno. Sikap apa yang harus diperbuat rakyat mengacu pada isi pidato Bung Karno, menjadi patokan satu komando.Bangsa kita dulu sangat terhormat karena kepatuhan rakyat pada pimpinannya, bukan karena perlengkapan senjata perang yang hebat. “Persatuan dan kesatuan, saling hormat menghormati ternyata lebih kuat dari peluru kendali,” katanya.
Ingatlah sejarah, karena dengan sejarah itu akan bertambah wawasan dan keilmuan kita. “Jangan melupakan sejarah, karena kalau kita lupa sejarah maka akan diombang-ambingkan oleh para pengacau,” ujar Habib mengingatkan.
Tunjukan pada dunia, kata Habib, kalau kita bisa merapatkan barisan, menghargai para pendahulu dengan meneruskan perjuangannya. Rapatkan barisan tidak akan mengecewakan Nabi, orang tua, pejuang, tokoh-tokoh pendahulu, guru-guru kita, sesepuh kita. “Tunjukanlah!” pungkasnya.
Kontributor:
Wasdiun
Komentarku ( Mahrus ali):
Menghormati, bukan menghina
dan melayani orang tua dengan baik bukan
dengan cara jelek adalah anjuran Islam bukan larangannya, baik orang tua muslim
atau kafir karena ada ayat:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ(15)
Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. Lukman.
Orang tuamu menyuruhmu untuk menjalankan kebid`ahan bukan sunah dan kesyirikan bukan tauhid.
Suatu misal, kamu disuruh ikut maulid, dibaan atau manakiban , lalu kamu
tidak mau. Tapi kamu harus tetap hormat bukan menghina dan melayaninya bukan
menyingkir dengan baik
Untuk mengetahui kesyirikan
dalam maulid Klik lagi disini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi komentar dengan baik